CHAPTER 5: MUSUHAN

707 101 3
                                    



"Doa dan harapan akan selalu menjadi senjata di setiap permasalahan."

***

Tempat nongkrong Heksa dan dua cogan lainnya saat jam istirahat, bukan di kantin. Bukan juga di ruang ekskul klub basket.

Perpustakaan? Apalagi itu, sungguh mustahil.

Walau Heksa masih terus mengeluh kepanasan dan gerah, nyatanya ia tetap bergabung dengan dua sahabatnya itu. Nongkrong di bawah ring basket. Padahal, siang itu sedang terik-teriknya. Dan, posisi Heksa tertuju pas dengan arah matahari.

Untuk bercakap-cakap dengan Willy dan Andre ia harus menyipit. Silau. Matanya yang minimalis sampai nyaris tidak terlihat.

"Sa! Lo denger gue kagak, sih? Malah tidur ni bocah," tukas Willy. Ia terbahak melihat Heksa yang harus bersusah payah membuka mata.

"Bacot, lo, Wil. Nongkrong tu di perpus, sekalian ngadem." Heksa menyambar bungkus ciki dari tangan Willy. Namun, setelah melihat isi di dalamnya, Heksa langsung misuh-misuh. "BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA!" sembur Heksa. Dengan sadisnya, bungkus ciki itu diraupkan ke wajah Willy.

Andre terkekeh. Ia sampai memegangi perutnya. Geli bercampur takjub melihat tingkah konyol sahabatnya.

"Eh, Bro. Itu Si ... Ginny, oh, Ginny, kan?" Willy merangkul bahu Andre. Keduanya kini menghadap ke arah koridor kelas X.

Gadis berkulit putih dengan rambut panjang bergelombang, tampak mencolok di antara murid lainnya. Selain karena seragamnya yang berbeda, penampilan gadis itu juga terlihat "wah". Ia mengenakan jaket model pemain bisbol yang dililitkan di pinggang.

"Lho, itu Yudha, kan?" tunjuk Heksa ke arah dua lelaki yang duduk bersama Ginny di koridor kelas X.

"Sekarang mereka satu geng?" Urat-urat leher Heksa mengencang. Setiap kali ia melihat Yudha, kenangan buruknya dengan terputar kembali. Ia jadi kesal sendiri.

Willy mendecak. "Cih, gue kira si Yudha udah tobat. Nyatanya masih aja nindas anak-anak kelas X yang cupu." Ia menggeleng-geleng melihat Yudha yang baru saja menyeret seorang murid kelas X berkacamata.

Sudah bisa ditebak, Yudha memalak siswa itu. Niatnya cuma buat hiburan. Willy tahu Yudha anak orang tajir dan sebenarnya tidak membutuhkan uang milik siswa itu.

"Salah siapa dia cupu? Seharusnya dilawan, jangan cuma diem. Cupu udah bukan takdir, tapi pilihan orang-orang lemah yang cari aman doang," tukas Heksa tak peduli. Selama dirinya tak diusik, ia malas berurusan lagi dengan Yudha.

Lain dengan Andre yang tatapannya menyorot penuh iba. Namun, Andre juga males nolongin kalau yang jadi korban murid cowok, nggak bisa sekalian tebar pesona dan cari muka soalnya.

"Hmmm, cuma dirinya sendiri yang tahu dia bener-bener udah tobat atau nggak," tanggap Andre, masih terdengar bijak. "Ucapan maafnya ke Pijar waktu itu, pasti nggak dari hati."

"Wah, Ndre. Lo udah cocok ngisi kultum, Ndre. Atau, kuliah Ahad pagi gitu." Willy menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.

"Kuliah Ahad pagi? Ya nggak bisalah. Dia kan masih SMA," celetuk Heksa yang langsung membuat kedua sahabatnya memijit-mijit kening.

"Terserah lo, Sa. Kenorakan lo udah nggak ada obatnya." Saat Willy hendak menoyor jidat cowok itu, ia melihat seorang wanita melangkah mendekati mereka bertiga dari belakang punggung Heksa.

"Heksa?" panggil Bu Seli begitu sampai di pinggir lapangan. "Ikut saya ke Ruang Guru. Ada yang harus saya bicarakan sama kamu."

Heksa mencebik. Ia hanya merespons dengan anggukan, lalu menoleh ke arah dua sahabatnya, minta ditemani.

Happy Birth-Die 2Where stories live. Discover now