CHAPTER 9: ANCAMAN

570 90 8
                                    


"Aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari orang yang benar-benar memahami diriku.

Bahkan ternyata, dia jauh lebih mengenal aku, dibanding diriku sendiri."

***

Pijar hanya gemetar, tapi tak mampu bergerak. Sementara di lantai auditorium, terdengar teriakan seorang cowok yang sayangnya tenggelam di antara dentuman musik pesta ulang tahun Ginny.

Bulir-bulir keringat mengucur dari pelipis Andre. Napasnya terengah-engah. Ia benar-benar lelah. Tangannya yang terkepal mulai lecet. Berulang kali ia mencoba menggedor-gedor pintu ruang toilet, tapi masih belum ada bantuan yang datang.

"Ya Tuhan, tolong jaga Pijar."

Brak!

Brak!

Tangan kanan Andre yang mengepal semakin memerah. Ia sudah kehabisan tenaga. Tubuhnya lemas.

Akan tetapi, satu hal yang membuat lelaki itu benar-benar terpukul adalah karena ia merasa tak bisa menjadi pelindung yang baik untuk Pijar.

"Gila, gue udah hampir setengah jam di dalem kamar mandi. Mana mungkin dari tadi nggak ada yang lewat? Aneh ...."

Meski dalam situasi terjepit, Andre tetap mencoba menganalisis lebih dulu, tidak gegabah.

Coba bandingkan jika Heksa yang ada di posisinya. Mungkin sudah jebol pintu toiletnya sejak tadi. Mana tenaga Heksa sebelas dua belas sama Hulk.

"Aisssh, baterai gue abis." Ia mulai kelelahan dan kini hanya bisa duduk di atas WC yang tertutup.

Hopeless. Tak ada pertolongan.

Andre tidak tahu bahwa di luar pintu WC, ada seseorang yang sengaja menempelkan tulisan "WC Rusak", hingga membuat para tamu akhirnya mencari WC lain. Ada yang sengaja mengerjainya dengan mengunci pintu toilet itu.

Mau berteriak sekencang apa pun juga percuma. Teriakannya kalah oleh suara musik yang menggema di aula. Suara Andre kurang toa, kurang melengking, jadi tamu lain tidak mendengar.

Di tempat lain, Pijar hanya bisa mematung saat matanya bersitatap dengan Ginny. Gadis yang sedang berulang tahun itu ada di hadapannya.

Bulan dan tahun kematian Ginny ....

Muncul ... di atas kepala gadis itu.

Deretan angkanya tertulis dengan sangat jelas.

Sorot mata Pijar berubah sendu. Tubuhnya membeku. Ia bahkan tak bisa memberi perlawanan saat Ginny mencoba mendekatinya.

"Lo kenapa, sih? Aneh banget," decak gadis itu sembari mencekal lengan Pijar.

"Singkirkan tangan kotor lo dari Pijar sebelum gue hilang kesabaran."

Suara tegas yang terdengar penuh ancaman itu membuat Ginny membelalak. Ia benar-benar terkejut.

"Heksa?"

Ginny tidak bereaksi, jadi Heksa menyingkirkan tangan gadis itu dari lengan Pijar dengan kasar. Urat-urat wajah Heksa mengencang. Ia tampak sangat geram.

Malam itu, Heksa yang mengenakan blazer hitam beradu tatap cukup lama dengan Ginny. Sepasang mata minimalisnya menyorot tajam pada gadis itu. Seperti menyimpan dendam yang tidak akan pernah berakhir sampai ia punya tujuh turunan kelak dengan Pijar.

Heksa kini beralih menatap Pijar. "Jar, lo lihat gue sekarang. Gue di depan lo, jangan alihin pandangan lo dari gue," ucap Heksa sembari menangkupkan tangan di pipi Pijar. Ia berusaha menarik fokus gadis itu agar hanya terpusat kepadanya.

Happy Birth-Die 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang