08. AKU LUPA, MAAF

83 8 0
                                    

Happy reading! ☺❤

Aku membaca sekilas surat pengunduran diri Bareto yang tergeletak di ruangan meja kerjaku. Tulisannya berantakan dan seolah memang dikejar waktu. Kemanakah perginya anak muda itu? Pertanyaan yang kupikirkan tentang fitnah macam apa yang menimpa Bareto sampai dia harus pergi dari sini sungguh menganggu otakku. Aku butuh penenang dari zat kafein kopi yang belum sempat kuminum pagi ini, sebelum memikirkan rencana ingin mengajak Nayla makan di Mie Gacoan dekat rumahnya saja.

Ruanganku di lantai dua, di atas mes karyawan. Sebuah jendela kecil terhubung ke halaman dan sekat-sekat tembok menjulang keseluruh bangunan vila, membatasi empat tipe kamar yang disediakan Vila Bumi. Mudahnya, aku bisa mengawasi dari atas sini. Terima kasih, Mbak Indah. Beliau memperkirakan desain bangunan sebegitu bagusnya sampai detail kecil untuk mengawasi kerja karyawan dapat kupantau. Ada yang sedang membersihkan kolam renang, ada yang mengganti sprei agar tamu yang memesan selanjutnya segera dapat memakai kamar itu, ada yang mengantar makanan pesanan tamu. Semua berjalan sesuai normalitas dan standar vila.

Aku menghela napas karena harus menggantikan piket Bareto untuk jaga shift malam nanti. Rasa kesepian yang sangat kubenci kala sendirian akan melanda selama diriku duduk semalaman di kantor pelayanan Vila Bumi nanti.

Seseorang mengetuk pintu ruanganku perlahan. "Mau inyong buatin kopi, Mas Rain?" Kang Slamet datang setelah selesai menyirami seluruh tanaman di sekitar vila. Beliau tahu kebiasaanku seperti ayahku yang minum segelas kopi susu pahit tanpa gula setiap pagi.

"Boleh. Asal tidak merepotkan Jenengan saja, Kang." (Jenengan : anda). Aku mengulas senyuman, biasanya Kak Hana yang menyuguhkanku kopi setiap pagi sambil mengirim sarapan. Sekarang Kak Hana sibuk mengurus binis makanannya yang semakin berkembang dan Arshinta juga tinggal di rumah Kak Hana, tidak ada alasan lagi untuknya datang berkunjung ke rumahku.

Tanpa basa-basi, beberapa menit kemudian Kang Slamet datang membawakan secangkir kopi susu yang mengepulkan asap tanda masih panas, aromanya khas. "Monggo, Mas." Suguh beliau padaku. Aku juga tidak sempat menyeduh kopi di rumah. Kebaikan hati Kang Slamet rasanya tidak dapat ditandingi atau dibalas dengan apapun. Aku sendiri bersyukur beliau selalu membantu dan bersamaku.

Beliau tersenyum, beberapa gigi yang mulai ompong terlihat. Jari jempolnya menunjuk sopan, "Jaket niku. Inyong jadi inget Pak Juna waktu masih muda dulu. Muirip Mas Rain."

Ini memang jaket denim biru tua milik almarhum Ayahku. Aku selalu memakainya karena nyaman. Modelnya klasik, seperti jaket denim pada umumnya yang tak pernah habis dimakan zaman. Setiap Kang Slamet mengatakan sesuatu perihal Ayahku, kuharap ada cerita tentang masa mudanya yang tidak kutahu dari Kang Slamet. Tapi ah, sudahlah. Aku sendiri tak ingin mengakui, aku juga merindukannya.

Jahat sekali dia, meninggalkanku sendirian mengelola banyak hal setelah membuat ibuku meninggal.

"Waktu rasa-rasanya cepat sekali berlalu, Mas Rain." Mata Kang Slamet tiba-tiba berkaca-kaca, aku tak paham kenapa. Beliau pamit keluar.

Apa ada yang salah dengan penampilanku hari ini?

Ada sebuah fotoku digendong pada pundak Ayah dengan jaket denim yang sama di sudut ruangan, aku masih kecil. Umur lima tahunan. Belum sekolah. Kak Hana juga berdiri di samping Ayah, memakai kaos gambar boneka beruang, baru masuk SMP rasanya. Aku beda tujuh tahun dengan Kakak. Ada seorang tukang foto yang kebetulan lewat depan homestay kami waktu pertama kali selesai dibangun tahun 1998. Ayah ingin mengabadikan momen itu. Kang slamet memindahkan bingkai foto itu ke sini. Katanya kalau ditaruh di kantor homestay tidak ada yang melihat juga, aku lebih sering berada di sini.

𝐑𝐚𝐢𝐧𝐛𝐨𝐰 𝐚𝐟𝐭𝐞𝐫 𝐑𝐚𝐢𝐧Where stories live. Discover now