01. AWAL BADAI

237 11 2
                                    

Sebagian Wilayah Yogyakarta sedang diguyur badai hebat. Hujan lebat sejak surya sempurna tenggelam dan kembali ke singgasananya di ufuk barat. Memberikan pertanda awal musim penghujan, juga awal takdir hidupku yang tersirat.

Kelam malam itu, tak pernah hilang dari ingatanku. Dingin, Arshinta masih berumur satu tahun setengah. Dia terus menangis, hampir semalaman. Aku kehilangan cara mendiamkan putriku. Ibunya belum kembali sejak sore tadi. Dia tidak mengangkat teleponku. Kakak perempuanku sudah pulang untuk menghangatkan makanan di rumahnya. Kakak sering berkunjung ke rumahku, dia sangat menyayangi keponakannya. Yah, anak dan suaminya juga butuh dia. Aku punya istri sendiri, tapi seolah tidak punya.

Mataku melirik jarum jam, pukul dua belas malam. Arshinta akhirnya tidur dalam pangkuanku setelah kelelahan menangis. Wajah polos bayinya yang manis, dia putriku. Tak ada yang bisa menyangkalnya, wajahku ada pada tiap guratan bentuk wajah mungilnya. Kedua mata kecilnya sembap akibat terus menangis. Dia merindukan pelukan ibunya. Setelah bekerja, Luna biasa pulang tepat waktu. Tapi akhir-akhir ini, jam pulangnya selalu tak pasti.

Astaga, kau dimana, Luna?

Batinku tidak berhenti memaki setelah membaringkan putriku.

Ponselku terus menelepon nomernya. Jemariku tak pernah berhenti mengetik, mengirim SMS sebanyak mungkin. Bertanya kabar, keadaan, apapun tentang apa yang dilakukan Luna hingga belum pulang jua.

Badai.

Ini badai.

Apakah terjadi sesuatu padamu, Sayang?

Tolong angkatlah teleponku.

Setidaknya membalas SMS.

Dia membawa motor sendiri, bagaimana aku tidak khawatir? Dia selalu menolak untuk diantar, menyuruhku mencari kerja saja, agar mencukupi kebutuhan rumah tangga kami.

Setelah ayahku meninggal, aku mengelola homestay dan sebidang tanah warisan. Ladang kelapa sawit di Lampung sudah dijual semua untuk dibagi dua bersama kakakku. Nasib buruk, usaha properti itu sekarang bangkrut. Pandemi Covid-19, menghancurkan bisnisku. Tak ada sepeser uang pun yang kudapat. Kami tak punya banyak pilihan, selain harus terus bertahan. Luna memilih kembali bekerja ke tempatnya dulu.

Aku menikah saat masih berumur dua puluh tiga, begitu juga Luna yang hanya berbeda dua tahun dariku. Aku sempat kuliah Ilmu Komputer di salah satu Universitas Yogyakarta selama setahun, tapi harus drop out. Karena tertangkap polisi, untuk kasus sindikat pemakaian dan pengedaran sabu-sabu.

Untungnya aku tidak dipenjara karena hanya terbukti sebagai pemakai, bukan pengedar. Aku memberitahu polisi, temanku adalah bandar pengedar sabu-sabu di Universitas kami. Dia berakhir dipenjara. Maaf, brother. Anda salah berurusan dengan tukang cepu.

Luna jelas marah dan kecewa padaku, tapi dia memaafkan diriku. Dan masih menerimaku apa adanya. Selesai rehabilitasi, kami memutuskan untuk menikah. Pernikahan ini adalah keputusan bersama kami, karena sebuah kecelakaan yang tidak diinginkan. Luna hamil, hal itu juga yang memaksa ayahku menerima Luna sebagai menantunya. Hubungan kami awalnya tidak direstui.

Ayahku punya pekerjaan bagus. Dia adalah sosok ayah yang bertanggung jawab pada anak-anaknya meskipun perlakuannya pada mendiang ibuku seperti bajingan. Aku membantu ayahku dalam bisnis properti di sekitar daerah Yogyakarta. Bahkan pernikahanku dengan Luna ditanggung oleh beliau. Sayangnya, ayahku meninggal tak lama setelah kami menikah. Saat itu, Arshinta masih belum lahir.

Aku bolak-balik dari kamar Arshinta ke jendela depan rumah, selama setengah jam ini. Mengecek ponsel, membuka gorden, melihat ke depan rumah. Mengharap kehadiran motor Luna di antara gemuruh badai itu. Semoga dia juga tidak lupa membawa jas hujan. Tuhan, aku sangat takut terjadi sesuatu pada istri yang kucintai.

𝐑𝐚𝐢𝐧𝐛𝐨𝐰 𝐚𝐟𝐭𝐞𝐫 𝐑𝐚𝐢𝐧Where stories live. Discover now