Bab 22

2.4K 176 17
                                    

22 – Venus

“Mbak, udah mau setahun loh Mbak nikah sama Kak Bryan. Masa belum ada tanda-tanda hamil.”

Venus menyesap kopinya lalu menatap sang adik dengan malas. “Rey, kenapa kamu ikut gangguin Mbak, sih?”

Rey mengembuskan napas kemudian melonggarkan dasinya. “Mbak kan tau aku nggak suka kerja di perusahaan warisan leluhur. Udah gitu Paman Lee suka julid, bikin aku makin males dan nggak betah di kantor.”

Venus ikut mengembuskan napas. Ia duduk bersandar di kursi kafe. “Mbak masih punya waktu tiga tahun, kan, Rey?”

Rey mengangguk. “Tapi lebih cepat lebih baik.” Lelaki itu menghabiskan teh lantas menyugar rambutnya. “Aku harap Mbak segera hamil lalu melahirkan anak laki-laki atau perempuan biar Kak Bryan bisa cepet memegang perusahaan secara menyeluruh gantiin aku.”

“Nggak gitu juga, Rey, meski Mbak punya anak nantinya, kamu nggak bisa lepas gitu aja dari perusahaan.”

“Tapi aku nggak suka di sana, Mbak,” keluh Rey.

“Rey, Mbak tahu kamu pengen hidup bebas jadi editor, atlet renang, artis FTV, membuka bengkel, atau apa pun yang kamu mau, meski begitu, kamu punya hak di sana. Nggak perlu setiap hari ke kantor, kan, yang penting kamu ada tanggung jawab di sana.”

“Iya, iya.” Rey bangkit berdiri dan meraih kunci motornya. “Aku balik ke kantor, nggak mau kena julid Paman Lee lagi.”

Venus melambai. Setelah Rey keluar dari kafe, Venus mengusap wajahnya. Ia juga harus kembali ke kampus.

***

Hampir setiap malam sang ibu menelepon, menanyakan apakah putri sulungnya itu sudah hamil atau belum, membuat Venus frustrasi.

“Mami, aku kan masih punya waktu tiga tahun.”

“Tiga tahun itu sebentar lagi, Ve.”

Venus menarik napas panjang.

“Paman Lee itu licik, jangan sampai apa yang udah Papi kamu kembangkan selama hidupnya, dirampas begitu saja oleh Paman Lee.”

Venus benar-benar muak. Sejujurnya ia sama seperti Rey, tidak peduli pada harta warisan maupun perusahaan leluhur mereka. Ia hanya ingin hidup damai sambil mengajar di kampus, itu saja. Namun, sang ibu berpikiran lain. Milik ayahnya tentu harus jatuh ke tangan putra atau putri mereka, juga keturunan selanjutnya.

Bryan baru selesai mandi saat melihat Venus mematikan sambungan telepon dengan raut muram. Lelaki itu sudah memakai kaus dan celana panjang, bersiap untuk tidur. “Mami lagi?”

“Hem.”

Bryan duduk di tepi tempat tidur menghadap sang istri. Ia memegang tangan Venus. “Masih ada waktu tiga tahun dan selama itu kita bisa—”

“Bryan,” potong Venus.

“Ya?”

Venus menatap Bryan lekat membuat lelaki itu mengangkat kedua alisnya. “Aku... mau kamu nikah sama Mai dan jika Mai kelak melahirkan bayi kalian... kita... kita jadikan dia anak kita, Bryan.”

Bryan yang baru saja pulang setelah mengurus cabang supermarketnya di luar kota dan tadi bersiap tidur karena lelah, tiba-tiba saja makin lelah akibat jantungnya yang berdetak begitu kencang seolah-olah akan melompat dari tempatnya. Ia menatap Venus antara bingung dan syok. Apa ia salah dengar? Sepertinya karena terlalu letih.

“Kamu bilang apa tadi, Ve?”

“Aku tahu kamu mendengarnya dan kamu nggak salah dengar, Bry. Aku mau kamu nikah sama Mai.”

Bryan hanya mampu terdiam membeku menatap sang istri.

“Bry...” panggil Venus setelah beberapa saat Bryan hanya diam saja. Lelaki itu sangat terkejut, pasti. Tapi seperti ada hal lain entah apa, pikir Venus. “Are you okay?”

Bryan seolah kembali ke alam nyata dan bisa bernapas lagi. “Ve, kamu....”

“Kalau kamu mau bilang aku gila, nggak sama sekali, Bry. Aku....”

Bryan menarik napas panjang. “Ve, pikirin dengan hati yang tenang. Kamu lagi nyuruh suami kamu nikah lagi loh.”

“Emang iya, kan, Bry.” Venus melepaskan tangannya dari pegangan Bryan. Air matanya menetes. “Aku capek, Bry. Kamu tau banget kan sejak sebelum kita nikah, setelah Papi meninggal, Mami selalu mendesakku buat menikah, hamil, lalu melahirkan keturunan MadyaSastra. Mami kasih kita waktu empat tahun, tapi sejujurnya makin aku pikirkan, empat tahun itu waktu yang sangat singkat, Bry. Kita udah sepuluh bulan menikah, dan tersisa tiga tahun lagi....”

“Ve, masih ada waktu.”

Venus menggeleng. “Aku nggak bisa, Bry.”

Bryan kembali menggenggam tangan Venus. “Sabar, Ve. Kamu jangan panik gini, jangan stres. Kita... kita pasti bisa.”

Venus menarik napas panjang, wajahnya basah oleh air mata. Dirinya memang frustrasi akibat rongrongan itu. “Aku... ingin menyerah saja, Bry....”

***

 
Note:
Yang mau baca duluan, udah tersedia di KaryaKarsa PutriPermatasari916 sampai bab 53 (on going).

Di wattpad juga insyaaAllah aku tamatkan, tapi kalau vote udah sekitar 90/100 per babnya ya.

Makasih banyak yang udah vote dan komen di wattpad, juga yang udah belanja di KaryaKarsa.

Makasih buat kak iiselsaMariani yang selalu WA neror kapan update, sedikit banyak bikin aku semangat buat terus lanjutin cerita Kamaisha-Bryan-Venus 🥰🥰🥰

Emerald, Rabu, 9 Agustus 2023, 06.37 wib.

LUKA (Bukan cerita dewasa) by EmeraldWhere stories live. Discover now