Putus 3: Deklarasi Putus

39 8 0
                                    

MALAM kian tenggelam ketika Isya sudah dilaksanakan secara berjamaah dengan Ayah sebagai imamnya, serta Bang Harun, Ibu, dan aku menjadi makmum, Alisha tidak ikut berjamaah usianya masih belum memampukan dia berdiri, hehe. Ayah dan Bang Harun memang biasa sholat Isya di rumah, kata Ayah sih, biar ada sholat wajib yang bisa Ayah imami di keluarga, selebihnya mereka tetap di masjid.

Beres Isya aku langsung menyusul Alisha yang tengah rewel, tugasku di rumah selain menjadi mahasiswa yang harus mengerjakan laporan-laporan memang harus menjadi kakak yang baik juga untuk Alisha. Biasa dia harus digendong keliling rumah sambil menepuk-nepuknya hingga mengantuk, seperti hari ini.

Masih dalam proses menidurkan Alisha, tak sengaja kudengar suara di balik tembok ruangan tamu seperti tengah menerima tamu yang tak asing suaranya. Kucoba menarik napas tenang kala mengenali tawa sua Om Baskara dan Ayah. Keyakinanku semakin terbukti ketika Ibu tiba-tiba datang memanggilku yang masih dibalut mukena dan gendongan yang hampir tertidur.

Kuputuskan untuk keluar ke ruangan tamu menyambut tamu Ayah lalu menyalaminya satu per satu, namun tepat setelah manikku bertemu pada putra sulung mereka, aku hanya memberinya senyum tidak seperti dua orang yang dekat lagi, melainkan seperti dua pasang teman yang pernah sekelas saja, tidak lebih.

Lintang yang datang, dia membawa serta kedua orang tuanya, persis seperti seseorang yang hendak mengutarakan niat lamaran, namun mengapa sekarang, kala aku sudah benar-benar tak peduli lagi dengan maksud tujuan mereka datang entahkah benar untuk melamar atau tidak.

“Maaf ya, Om, Ana nggak duduk, soalnya Alisha harus diajak keliling dulu supaya cepet tidur,” kataku sungkan.

“Ya Allah … beruntungnya kamu Umar. Anakmu sudah cantik, sholihah, keibuan pula. Ini anakku si Dinda harus sering-sering belajar sama dia nih,” celetuk Om Baskara memuji seperti biasa setiap kali aku bertemu dengannya. Bedanya kali ini aku balas tersenyum kecut, tidak ada lagi tersisa perasaan tersipu yang kupunya.

“Begitulah, Kar, anak-anak mah emang harus didesain dari sekarang biar bisa jadi istri yang baik buat suaminya nanti. Pokoknya sebelum nikah, bekal parenting-nya udah harus oke, sabarnya udah oke, jaga diri dan harta suaminya juga oke, jadi mau dia nikah muda atau nikah tua nggak jadi masalah yang penting bekal udah jadi. Iya nggak?”

“Bener, Umar. Doain saya juga biar bisa didik Lintang kaya Ana nih. Jodoh kan cerminan diri sendiri kan, ya,”

Ayah balas mengangguk saja mendapati obrolan yang rasanya tidak ditujukan padanya. Aku sendiri belum menceritakan apa pun pada Ayah, bahkan pada Ibu pun belum. Bagiku tak perlu ada yang tahu masalah antara aku juga Lintang dan aku menganggap urusannya juga telah selesai.

“Gini nih, Mar, saya sekeluarga dateng nih selain pengen nyambung tali silaturrahmi lagi, kita ada niat baik juga. Anak-anak nih kalau ada masalah, bawaannya orang tua yang pusing, haha,”

“Ada apa sih emang? Ana kamu ada masalah apa sama Lintang?” tanya Ayah balik melirikku sekarang. Aku tetap berdiri tenang di tempatku sembari melembutkan tepukan di punggung Alisha.

Aku tak sungkan untuk mengedarkan manikku ke arah mana pun terutama pada Lintang agar semuanya menangkap bahwa aku merasa tak ada masalah dengannya, “Nggak ada kok, Yah. Kemarin memang sempat ada sedikit ya Lintang, … cuman udah beres kok,” kataku memberi muka pada Lintang.

“Tapi kata Lintang kamu nggak mau ketemu dia lagi katanya,” sahut Om Baskara ikut memberikan raut bingung pada Lintang dan aku.

“Kayanya aku nggak pernah ngomong gitu. Aku sama Lintang kan tetep temenan, masa nggak mau ketemu lagi? Cuman kita saling menghargai aja, berhubung sama-sama sibuk kuliah, iya kan, Lintang?”

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang