Putus 2: Nostalgia

43 8 3
                                    

KAMU ada masalah ya sama, Lintang?”

Pagi-pagi sekali, aku sudah berada di kediaman Faya untuk minta bantuan menyelesaikan tugas laporanku sekaligus membesuknya yang tiba-tiba ngidam minta dibawakan nasi ulam. Katanya dia semalaman terbayang-bayang nasi ulam buatan Ibu sampai sepagi buta tadi Bang Harun harus kuseret menemaniku mencari nasi ulam. Beruntung di jam yang masih menunjuk pukul enam pagi, sebuah warung di daerah Gambir memajang banner menunya di depan warung, terdeteksi menjual makanan yang kuburu. Kuminta Bang Harun yang menunggu dengan penampilan sudah mirip papa-papa muda belum lepas dari sarung sholat Subuhnya, sedang aku di dalam mobil tidak bisa diganggu gugat, tugasku emergency, mesti dikumpul jam sembilan nanti. Siapa suruh diskusinya yang melebar sampai harus tukaran kamar karena aku ketiduran di kamarnya kemarin sukses membuatku lupa aku masih ada tugas penting.

Sampai di kos Faya, Bang Harun harus segera pulang juga, dia akan semakin terlambat jika harus mengantarku sampai kampus, kasihan kan dia harus mandi bebek lagi gara-gara aku, hahaha.

Dan kulanjutkan pekerjaanku yang tersisa satu pembahasan lagi di kamar Faya, sambil dia menyemil, menanyakan Lintang juga.

“Enggak ada perasaan. Kenapa emang?” balasku sok berpikir mencari ingatan adakah masalah antara aku dan Lintang, lalu kembali menyalin catatan penuh stabiloku ke dalam file laporan. Hehe, ini trik, supaya tidak sekedar baca saja, tapi bisa mendengar dikte lisan sendiri sembari diketik. Jadi tidak asal menyalin, atau asal copy paste.

“Kemarin Lintang telepon, katanya nyuruh aku bujukin kamu. Habis kamu dihubungi nggak mau angkat, sekalinya diangkat malah Bang Harun yang angkat,” lapornya.

“Ya udah sih ya kalau dia ngerasa nyaman curhat sama kamu, semoga sedihnya nggak bakal lama. Aku minta tolong ke kamu ya, Faya, ngomongnya jangan iyain untuk dia berharap lagi. Maksudku kamu jangan terlalu nurutin pendapat dia, kamu kasih pandangan kamu juga kalau apa yang aku putusin ini juga bukan hal yang salah,”

“Emang kamu udah nggak punya rasa apa-apa gitu ke Lintang, Na?”

“Yakali enam tahun aku biasa aja? Nih kalau mau jujur, dalam hati sedih juga kali, cuman ya mau diapain lagi, mumpung dia belum jadi suami, kan, mending sakitnya sekarang aja daripada semuanya udah keburu nikah, putusnya susah, mesti ke pengadilan agama, kan?”

“Ye, kamu mah bercanda mulu. Masalah sebenarnya emang kenapa? Lintang kenapa? Habis buat kesel? Apa gimana?”

“Nggak kenapa-kenapa, udah pengen ngeakhirin aja,”

“Hadeeeh, gini nih kalau temen masih polos. Sini gua bisikin,” katanya lalu menarikku lebih dekat dengannya. Maksudnya, dia hendak berbicara sedikit lebih rahasia, “Menurut aku ya, Lintang tuh nggak sepenuhnya salah juga, Na. Dia udah enam tahun pacaran sama kamu, kalau dia minta making love gitu, itu udah kaya nunjukin kalau dia selama ini nyamannya sama kamu aja, pengen ngunci kamu biar nggak ke mana-mana, kalian nggak pernah putus juga, kan. Coba deh kamu pikir-pikir lagi, buat lebih dewasa. Ini tuh normal banget, Lintang juga nawarinnya main aman kan, Na?”

Bagaimana menurutmu? Setuju dengan pendapat Faya? Mungkin menurut Faya, pendapat dia memang ada benarnya, merajut hubungan selama itu sudah seharusnya hal apa pun telah diwajarkan, mengingat yang kurang dari setahun saja bisa melakukan apa pun atas dasar cinta.

Aku mengingat betul, dahulu setengah dari teman sekelasku, bahkan hampir semua dari isi kelas yang kuhuni saat itu, menganggap bersikap manis terhadap pasangan sendiri adalah hal paling didamba lagi beruntung. Tujuan berpacarannya adalah sengaja mempertontonkan ke-uwu-an bahkan tidak jarang sampai disebar di media sosial.

Yang lebih horor lagi, cerita dari teman-teman yang dulu sebangsa denganku kerap membagikan kisahnya bahwa kemarin mereka habis dirangkul, dipeluk, dan apa pun itulah. Jelas ini bukan cerita yang harusnya keluar dari lisan anak SMA, kisahnya tanpa disadari bisa menjadi sugesti untuk yang lain.

Nggak Mau Pacaran LagiWhere stories live. Discover now