Bucin 19: Kepergian Faya

69 6 0
                                    

SYUKUR alhamdulillah, setelah seharian mengurus persiapan pernikahan Faya, kabar gembira akhirnya kudengar jua bersama Deandra bahwa pekan depan Faya dan Faro akan melangsungkan pernikahannya. Hanya saja yang menjadi kendala, setelah keduanya menikah Faro tetap harus menyembunyikan Faya jauh dari rumah yang membesarkan Faro, guna untuk menghindari omongan yang akan mengusiknya kelak.

Kupikir itu lebih baik sih, aku dan Deandra juga setuju jika mereka harus belajar sebagai keluarga sungguhan, tidak dicampuri tangan orang tua. Mulai mandiri mencari nafkah, mengurus rumah, sekalipun iya sih … pendidikan keduanya mungkin akan terganggu dengan kondisi tersebut.

Dan hari ini, aku harus memasuki kuliah lagi setelah libur pekanan kemarin selesai, jadwalku memang hanya dari Senin hingga Kamis, akhir pekan kebijakan kampus seluruh fakultas diliburkan.

Seperti pagi-pagi biasanya, sudah ditebak dong aku sedang di mana dan bersama siapa sekarang? Selama setengah jam kedepan aku hanya akan mengobrol bersama Lintang di mobilnya.

“Kemarin aku mimpi, cuman nggak yakin mimpi sih,” lirihnya kedengaran bimbang.

“Mimpi apa?”

“Mimpi udah nikah,”

“Sama siapa?”

“Sama kamulah, masa yang kemarin,” katanya lalu meraih kembali jemariku. Tebak responku bagaimana? Ya, biasa saja. Aku tidak lagi menepis seperti keparnoanku kemarin, takut dia berpikir makin ke sini dia makin menganggapku berubah.

Bukan aku tak pandai belajar dari pengalaman kedua temanku, justru karena aku mensyukuri pertemuanku dengannya. Aku bersyukur karena Lintang selalu menjagaku dari lingkungan yang tidak baik, dengan tahu statusku sebagai kekasihnya orang jadi mundur untuk dekat-dekat. Aku bukan gede rasa banyak yang suka, tapi memang kadang ada saja yang suka mengganggu.

Masih ingat tidak driver yang mengantarku ke kampus Lintang waktu itu? Kalau tidak mengadu ke Lintang, dia mungkin masih menggangguku di jam-jam belajar larutku. Atau teman-teman Dinda, aku tak tahu jalan pikiran anak SMA, modusnya tidak ketulungan menanyakan soal kampus atau soal pribadiku.

Ya sudah, aku jujur saja sudah punya pacar dan aku berusaha untuk selalu menjaga hati untuknya. Toh Lintang juga sudah menjamin, kelak yang menjadi pasanganku adalah dia, jadi kupikir tak payah menegurnya terlalu sering takutnya malah seperti yang kubilang tadi, aku terlalu parnoan, terlalu membatasinya, sampai harus mengundang hal yang tak diinginkan.

Aku tidak mau kehilangan dia, titik.

“Tapi yang kemarin tuh cantik loh, makanya aku nggak marah-marah amat, wajar kan mata kamu yang gemesin itu suka,”

“Ih enggak! Pokoknya bolehnya suka sama kamu doang,”

“Gitu?”

“Iya dong,”

“Kalau ketahuan lagi?”

“Nggak akan. Aku udah nggak mau nyakitin kamu. Pokoknya aku udah yakin, yakin, yakin banget sama kamu!”

“Kenapa coba yakin, yakin, yakin banget? Kan di atas kamu masih ada Tuhan, kali aja nggak jodoh,”

“Ih, enggak. Pokoknya tiap sholat aku bakal doa terus semoga cepet lulus terus nikah,”

“Beneran? Tadi sholat subuh nggak?”

“Sholat lah. Coba ngomong ke Mama kalau nggak percaya. Aku sampai doain Mama, Papa, sama kamu juga. Rugi tahu nggak sih aku kalau relain perempuan kaya kamu,”

“Coba aku mau denger, kamu suka sama aku kenapa? Apa karena aku cuman modal otak doang? Atau apa gitu?”

“Ya ampun, Na, orang pinter doang mah banyak. Yang pinter plus cantik plus kaya plus bajunya seksi-seksi aja banyak, Na. Mereka mau gimana pun juga kalau nggak bisa diajak kerjasama di rumah tangga nanti ya mau diapain? Mending yang pasti-pasti aja kaya kamu. Kamu tuh ya, Na, kalau kulepas, yang mau gantiin aku pasti banyak,”

Nggak Mau Pacaran LagiWhere stories live. Discover now