Bab 27 Kamar Hotel

10 0 0
                                    

Kaki Karina melangkah pelan. Dia masuk ke dalam ruangannya dengan perasaan yang campur aduk. Bagaimana tidak, dua hari lalu dirinya benar-benar melakukan adegan yang tak sengaja dari seorang Marchel.

Ada keinginan untuk menanyakan apa maksud dari perlakuan Marchel itu tetapi dirinya tak pernah berani untuk memulai.

Diam adalah senjata terbaik bagi Karina meskipun dirinya ingin sekali bertanya perihal first kiss itu.

“Bodoamata Karina! Lo harus bisa menahan diri dan kembali cuek seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya!” kata Karina dalam hati.

Dalam satu ruangan itu, Karina hanya bisa dokus mengetik dan suara ketikan itu seolah penuh mengisi ruangan.

“Baik, Pak. Nanti akan saya ikut sertakan hanya saja tidak bisa membawa perwakilan secara bersamaan jadi saya sendiri yang akan ikut.

Kebetulan perusahaan saya sekarang sedang ada problem internal jadi tidak ada karyawan yang harus ambil memo keluar,” kata Marchel menanggapi teleponnya.

Sejak mengucapkan salam pagi kepada Karina, saat itu juga Marchel langsung sibuk mengirim balasan email pada partner kerjanya.

Dia juga tidak mempermasalahkan apa pun yang sudah terjadi. Karina menganggap bahwa Marchel sangat menyebalkan karena tidak membahas apa pun yang menyangkut malam hari itu.

“Dasar! Kerjaan kerjaan terus yang dipikirkan, huh!” kesal Karina sambil menekan tombol spasi dengan keras.

“Oh iya,  Karina hari ini kamu harus ikut aku sebentar untuk meeting di luar sesuai perjanjian,” celetuk Marchel sambil menoleh ke arah Karina.

Saat Karina hendak menyalakan printer, dia pun menanggapi pertanyaan dari Marche. “Sekarang? Gue gak mau lagi buat lembur kaya kemarin!

Lo tau gak sih kalo mama gue tuh benci ada acara lembur seperti ini apalau sampai tengah malam! Apa pun yang lo minta soal lembur apalagi sampai malam, detik ini juga gue bakal nolak seterusnya!” ketus Karina menjelaskan dengan nada yang tinggi.

Marchel tersneyum dengan sabar saat melihat wajah Karina yang cukup marah kepadanya. Dia pun langsung mengangguk dan meletakkan mouse yang sudah dia pegang sebelumnya.

“Aku tadi bilang apa kamu tidak dengar?”

Karina tertampar mendengar hal semacam itu. DIa pun langsung mengerutkan dahinya dan mencoba mengingat apa yang dikatakan oleh Marchel.

“Hah? Apaa maksud?” tanyanya sedikit acuh.

“Karina ….” Kata Marchel sambil menggeleng. “Aku kan sudah bilang kalo aku minta kamu sebentar untuk ikut meeting bersamaku. Bukan nyuruh lembur!” tegas Marcheld engan nada yang sedikit dimainkan seolah marah.

“Sekarang?”

“Taun depan, Karina!” Marchel menyolot kesal dengan mata yang melebar.

“Iya sekarang lah, memangnya aku tadi telepon dnegan partner bahas tahun depan, ayo cepat berkemas!” lanjut Marchel mengajak.

Dengan perasaan yang masih mengganjal karena mash ada pertanyaan yang belum juga terjawab. Karina mengikuti kemauan dari Marchel untuk bertugas di luar.

Sebagai seorang sekertaris pribadi, mau tidak mau Karina harus profesional dalam bekerja meskipn hatinya sangat kesal dengan tingkah bosnya itu.

Sesampainya di room meeting di salah satu hotel, Marchel langsung bergegas membuka laptopnya dan berdiskusi dengan salah seorang lelaki yang memilki rambut pirang.

Beberapa tamu yang datang merupakan orang berkulit putih dengan jas berwarna dongker yang terlihat lebih berwibawa.

Untungnya, Karina pada saat itu juga tengah memakai blazer berwarna mocca sehingga sangat cocok untuk pertemuan formal trsebut.

“Jadi, ini project baru kita dan kemungkinan akan segera terealisasi,” ucap seseorang yang memilki rambut berwarna pirang.

“Baik, Sir. Mungkin jika desain bangunannya berwarna ini sangat cocok karena sesuai dengan filosisfi berdirinya kerja sama ini,”jawab Marchel menujukkan ke arah cakra warna.

“Em,boleh saja sih. Ini masalah warna desain pasti selera orang. Mungkin yang kita anggap ini bagus bisa saja biasa saja di mata banyak orang.”

“Oke, kalo menurutmu bagiamana Kirana? Kmau punya pendapat yang lain?

Tiba-tiba Karina gugup saat ditatap oleh sekelompok orang berkulit putih itu. Dia sedikit menganga saat melihat warna yang cukup banyak itu.

“Eh, iya aku setuju saja sih. Mungkin apa yang dikatakan oleh Pak Marchel juga benar begitu. Ini warna yang cocok,” ucap Karina sambil menujuk ke arah salah satu warna yang sudah dipilih oleh Marchel lebih dulu.

Di tengah sibuknya meeting itu, Karina menyempatkan menyesap minuman the hangat yang baru saja dia pesan.

Sedikit melepaskan rasa tegangnya selama masa diskusi itu, kini Kirana benar-benar kaget melihat jam yang sudah menujukkan pukul 6 sore.

Dia berangkat saat siang hari sebelum jam makan siang dan melakukan makan siang bersama dengan semua rekan kerja Mmarchel.

Sampai dirinya lupa bahwa jam sudah melebihi jam kerjanya secara normal.
“Gue udah bilang kalo lambur sampai malam gue gak mau. Tapi, kenapa Marchel batu banget sih!” gerutu Karina di dalam hati.

“Padahal baru aja tadi pagi gue bilang ke dia tetapi apa yang gue katakan malah keluar kuping kiri begitu saja, dasar lo awas yah!” ucapnya di dalam hati.

Kirana tidak bisa menghentikan meeting pada saat itu. Dia tidak memiliki hak atau pun wewenang yang sesuai.

Dengan begitu, Karina hanya bisa diam karena lawan meetingnya hari ini bukan orang sembarangan. Kegigihan dan kesigapan dari orang berkulit putih itu cukup membuat mulut Karina membungkam.

“Bagaimana gue bisa ngomong ke Marchel kalo hari sudah malam begini?” tanya Karina sambil membenarkan duduknya.

Dia hanya bisa sedikit gusar dan menunjukkan rasa tidak nyaman untuk kali ini. Dia tidak bisa mengatakan apa pun saat Marchel sedang berbicara dan saling betukar pikiran.

“Baiklah kalo memang sudah tepat waktu dan tempatnya akan segera kita proses segera,” ucap Marchel sambil bersalaman dengan partner nya.

Karina senang. DIa merasa tanda untuk mengakhiri meeting itu akan segera berakhir saat Marchel berkata demikian. Nyatanya semuanya itu tidak terjadi sama sekali.

Karina masih harus diam duduk dan terus menulis percakapan yang penting untuk kerja sama anatar perusahaan itu.

Dia hanya bisa mengubah tempat duduknya beberapa kali sampai akhirnya salsah satu dari orang berkulit putih itu memberikan sebuah jawaban yang panjang.

“Saya rasa itu sudah cukup jelas, Sir. Jadi, sekarang semuanya clear dan tidak ada lagi dalam persiapan ini.

Kita akan bahas lagi ini suatu saat nanti sambil terus melihat progress pembangunan di lapangan,” ucap Marchel.

Meeting pun berakhir saat Marchel memberikan salam dan jabat tangan kepada rekan kerjanya itu.  Beserta dengan Karina yang ada di sampingnya, mereka sama sekali ramah terhadap partner kerja yang akan menjadi mitra perusahaannya.

Setelah semuanya keluar dari room meeting, Karina menghela napas lega. Tetpai, tidak bisa menghindar untuk memarahi Marchel yang sudah seenaknya snediri.

“Lo bilang mau ngajak gue Cuma sebentar. Tapi, lo liat ini jam berapa!” sembur Karina sambil menujukkan jam tangannya.

“Iya, gue tahu. Kan lo denger sendiri tadi gue bilang buat kalimat penutup beberapa kali tapi pihak sana selalu menyanggah dan seolah tidak akan berakhir sampai ketemu titik temunya,” jelas Marchel dengan tegas.

“Bodoamat! Sekarang biarin gue pulang karena ini melebihi jam kerja normal!”

“Tunggu dulu, Karina dengerin! Apa kamu gak mau menginap semalam di hotel ini bersamaku?” tanya Marchel.

TAWANAN CINTA TUAN CEO Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora