Bab 19 Ribut

3 0 0
                                    

Di perjalanan, Karina masih merasa berutang jawaban pada Kayla yang kebetulan memergoki dirinya pulang lebih awal.

Hal ini tentu membuat Marcel merasa canggung karena sikap Karina berubah diam seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Kerjaan udah kelar?” tanya Marcel.

Sepersekian detik Karina bergidik dan segera membalas, “Sudah.”

Marcel masih melihat dengan saksama meskipun sambil menyetir mobilnya. Dia merasa penasaran apa yang sedang dipikirkan oleh Karina.

“Terus? Kamu keliatan kaya orang banyak masalah. Aman kan tadi pas kamu keluar?” tanya Marcel mencoba untuk menebak.

“E-e-eh, iya-iya,” jawab Karina seadanya.

Selagi dirinya mencoba untuk berbohong, Karina berusaha menyibukkan diri seperti membuka ponselnya dengan berpura-pura mendapat chat dari Luna padahal tidak ada chat sama sekali dari adiknya.

Perjalanan itu terasa sebentar. Kini mereka sudah berada di restoran yang cukup mewah karena Karina tidak bisa memilih dimana dirinya ingin makan malam.

Semua keputusan ada di Marcel sehingga dia merasa tempat tersebut tidak asing baginya. “Eh, bukannya ini tempat—”

“Tempat apa, hayo?” tanya Marcel mematikkan mesinnya.

“Iya jelas gue tahu lah ini tempat apa. Lo dulu tuh sering nyulik gue ke sini tau ga! Katanya dianterin pulang malah belok ke tempat ini.”

“Udah, ayo cepat masuk ke sana,” timpal Marcel.

Tempat tersebut sengaja dipilih oleh Marcel sekaligus sebagai tempat nostalgia dengan teman musuhnya dulu.

Dia memang sering mengajak Karina berbuat nakal. Salah satunya pulang sekolah lebih dulu main dibanding harus langsung diantar ke rumah.

Di situ juga Marcel selalu menyuruh Karina untuk berbohong kalau setelah pulang sekolah ada tugas kelompok sebagai bahan alasan kalau dirinya tengah membawa Karina jalan-jalan.

“Gak ada bedanya lo tuh masih kaya dulu!” gerutu Karina.

“Tapi, kamu seneng kan di sini? Iya, anggap saja ini nostalgia setelah kamu keluar dari kota ini,” ungkap Marcel mencoba untuk meledek.

Tidak perlu menunggu lama, pramusaji itu segera menepi ke meja yang dipilih oleh Marcel. Mengantarkan beberapa makanan yang sudah dipesan oleh Marcel tanpa sepengetahuan oleh Karina.

Saat pramusaji menghidangkan makanan tersebut, Karina melongo melihat makanan yang dipesan oleh Marcel terlampau banyak untuk dirinya.

Dia pun mengerutkan dahinya mencoba untuk memeberikan sinyal kalau dirinya sedikit keberatan. 

Dari sorot ekspresi Karina, Marcel sudah tahu kalau dirinya sedang diintai oleh mata yang tajam. Dia pun hanya tersenyum mencemooh ke arah Karina sampai pramusaji tersebut pergi.

“Lo itu pesen makanan segini banyak mau lo makan sendiri? Atau mau ngajak semua orang makan di meja ini?” sindir Karina sambil berkacak pinggang dalam posisi berduduk.

“Hahaha emang aku lupa kalo kamu ini suka makan banyak?” tanya Marcel mencoba membalas sindiran balik.

“Dih! Makan tuh ini semua! Aku cukup sedikit aja.”

“Yakin nih cukup sedikit?” ledek Marcel.

Menu yang dipesan oleh Marcel memang lengkap. Sudah ada makanan pembuka hingga makanan penutup yang dipesan sesuai dengan kesukaan Karina, yaitu es krim dengan varian khas dari restoran tersebut.

Melihat salah satu menu merupakan kesukaan Karina, dirinya menggelengkan kepala seolah menunjukkan bahwa rindu akan makanan tersebut.

Mereka makan sambil diselingi bercanda. Marcel mencoba memancing pembicaraan dengan menyempilkan momen disaat mereka bersama.

Saat itu tawa mereka pecah seolah semua orang juga iri melihat kedekatan dari meja yang ada di pojok belakang ini.

Apa yang dikatakan oleh Marcel memang benar. Perlahan makanan yang dia pesan akhirnya ludes juga oleh Karina tanpa sadar.

Dia merasa misinya berhasil karena sudah membuat Karina tertawa sampai menghabiskan makanan yang dia pesan.

“Aku senang kalo kamu bisa kembali senyum kaya gini,” batin Marcel.

Di penghujung malam itu, Karina mencoba untuk membuka ponselnya setelah menghabiskan makan malam bersama dengan Marcel.

Di dalam mobil menuju ke arah rumahnya, dia baru sadar ternyata Luna menertawakan foto yang dia kirim saat makan bersama dengan Marcel.

“Memangnya apa yang lo ketahui? Perkara foto gini lo ngira kalo gue jadi cewe yang gak bener?” omel Karina di dalam hatinya.

Tidak ada pikiran aneh atau apa pun itu tentang pandangan Luna terhadap foto yang dia kirim. Dia kembali berterima kasih kepada Marcel karena sudah mengantarkannya pulang ke rumah.

“Oh, iya nih satu lagi. Terima kasih sudah traktir makanan gue yah. Lain kali gue janji bakal traktir lo balik.”

“Gak perlu! Udah! Ngapain juga wajib diganti, aku ikhlas kok gak perlu diganti itu,” tolak Marcel dengan cepat.

“Iya, abis lo tuh pesan makanan banyak banget dan itu restoran mahal loh. Mana mungkin gue gak tahu berapa totalnya, abis jutaan pastinya,” jawab Karina mencoba mengelak.

“Udah, sana udah malem!” rajuk Marcel sambil menutup kaca mobilnya secara otomatis.

Saat masuk ke rumah, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Terlihat komplek rumah Karina sudah sepi tetapi rumah miliknya lampu masih menyala.

Dia pun masuk mengucapkan salam. Di terima dengan baik oleh Hani. Karina berusaha jujur kalau dia tengah makan malam bersama dengan rekan kerjanya yang sekantor.

Dia pun sudah mengirimkan permintaan izin pada Hani lewat chat sehingga semuanya baik-baik saja.

“Beneran tuh sama rekan kerja?” 

Pertanyaan itu tib-tiba muncul dari arah samping. Tidak diketahui oleh Karina bahwa selama dia menginjakkan kakinya masuk  ruang tengah, sudah ada Luna yang berdiri di depan pintu kamar.

Tidak lain tujuan dari Luna adalah ingin membuat kakaknya ini punya masalah lagi. “Rekan kerja sama siapa? Orang makan malam Cuma satu orang doang, kan? Gak usah boong deh dah tau juga gue,” kata Luna melanjutkan.

“Heh! Gak usah sok tau dan mencampuri urusan orang deh! Lagian gue juga udah izin sama mama buat makan di luar,” bela Karina sambil menodong ke arah Luna.

“Sudah, jangan pada ribut yah ini udah malem loh besok kalian juga kerja lagi kan,” umpan Hani mencoba untuk menenangkan suasananya.

“Tapi emangnya mama yakin kalau Kak Karina ini main Cuma sama rekan kerja semuanya? Aku lihat si Cuma sama satu orang aja.

Mana cowo juga keliatan banget dari jam tangannya,” balas Luna tak mau kalah.

Karina baru sadar kalau selama ini ternyata Luna mengincar jam tangan milik Marcel yangs udah terekam di foto untuk memperlakukan dirinya di depan Hani.

Sebenarnya tidak masalah jika Karina tengah dekat dengan lelaki karena Hani percaya kalau Karina bisa menjaga diri sendiri, terlebih sudah memilki penghasilan dan bisa merasakan lelahnya bekerja.

Diem mulut lo atau gue—”

“Karina sudah! Jangan berantem malam-malam gini apalagi sampai main tangan kaya gini!” cegah Hani saat Karina hendak menampar wajah Luna.

TAWANAN CINTA TUAN CEO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang