Bab 14 Hari Paling Sial

3 0 0
                                    

“Kamu anak baru kan?” tanya seorang wanita yang memakai kemeja berwarna biru laut.

Sambil memegang tas miliknya, Luna mencoba untuk menyapa terlebih dahulu. Di hari pertama kerja, dirinya sudah dihadapkan dengan sosok wanita yang belum dia kenali tetapi memilki wajah yang cukup garang.

“I-iya, Kak. Aku divisi purchasing di sini, staff baru yang masuk hari ini,” jawab Luna dengan sopan dan sedikit formal.

Sambil melirik tak sedap, wanita itu langsung menyodorkan sebuah map berwarna merah yang berisi beberapa dokumen data barang milik perusahaan.

“Baiklah, hari pertama kerja sudah ada tugas yah. Kebetulan kamu masuk tepat di akhir bulan yang mana setiap akhir bulan selalu ada cek stock fisik di gudang. 

Jadi, tugasmu harus mengecek beberapa barang yang sesuai dengan data di sini,” ucap wanita tersebut sambil menyodorkan map berwarna merah.

Luna segera mengangguk dan menerima pemberian map tersebut, lalu sedikit bingng karena dirinya tidak terlalu paham apa yang mesti di lakukan di hari itu.

“Oh iya, satu lagi,” ucap wanita itu sedikit memberikan perintah. “Tolong nanti semua data itu harus selesai sebelum jam istirahat. Bagaimana pun caranya saya tidak mau tahu. Silahkan cari mentor ke yang lain kalau memang bingung, karena kamu itu bukan tanggung jawab saya,” imbuhnya.

Perawakan yang sedikit galak itu membuat Luna menelan ludah dengan kasar. Bagaimana tidak, setelah dirinya mengikuti briefing bagi dan perkenalan diri dengan para staff yang lainnya, kini sudah mendapat tugas dari seorang wanita yang tidak memperkenalkan diri.

“Ya Tuhan, gini amat hari pertama kerja,” sambat Luna sedikit melirik ke arah wanita tersebut.

Meja kerja Luna tidak terlalu jauh dari para staff yang lain, dia pun mencoba untuk membuka laptop dan sedikit kebingungan karena sedari tadi membaca dokumen tersebut tetapi tidak tahu harus melakukan apa.

Seluruh rekan kerjanya sudah sibuk dengan tugas masing-masing sehingga Luna merasa canggung jika dirinya ingin meminta bantuan kepada mereka.

“Aduh, gimana ini? Tadi katanya gue harus nyari mentor, tapi mana ada mentor sampai sekarang di sini,” ucap Luna sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

Beberapa kali dirinya pun merasa tidak enak di hari pertama. Ingin rasanya menelpon Karina tetapi akan sangat memalukan jika nantinya dituduh bermain ponsel oleh rekan kerjanya.

Akhirnya setelah Luna membaca data dokumen tersebut, dia bertanya kepada salah satu rekan kerjanya yang ada di samping kanan.

“Maaf, Kak. Saya mau bertanya, untuk mengimput data ini bagaimana yah kak? Soalnya saya belum ada pengarahan, tapi sudah diberi tugas ini,” kata Luna sedikit malu.

“Oh, kalau ini memang harus ada yang mengarahkan sih soalnya datanya penting. Nanti kalau salah imput bisa ngaruh ke divisi selanjutnya.

Coba kamu nanya ke Mas yang pakai kemeja berwarna cokelat muda itu,” jawab rekan kerja Luna.

Luna menghela napas lega. Dia mencoba menghampiri sosok lelaki yang telah disebutkan dan berniat minta tolong sesuai dengan perkataan sebelumnya.

“Aduh! Kalau data ini saya tidak bisa jawab, nih. Ini masalahnya harus teliti dan tidak boleh salah, nantinya ngaruh ke bagian yang lainnya, coba kamu nanya ke kakak yang rambutnya dikucir satu itu,” jawab seorang lelaki yang juga rekan kerja Luna.

Dua kali dilempar sana sini membuat Luna sedikit menahan marah. Dia merasa dirinya dipermainkan oleh partner kerjanya di hari pertama.

“Bagaimana bisa mereka seolah meremehkan gue di sini! Awas aja yah kalian kalau misalkan sudah kenal, bakal gue balas balik perbuatan kalian itu!” gerutu Luna di dalam batinnya.

Beberapa kali dirinya mencoba untuk meminta bantuan, tetapi tidak ada yang bisa membantunya. Wanita yang memilki rambut dengan gaya dikucir satu itu pun menolak untuk mengajari dikarenakan tugasnya sedang banyak.

Setelah tiga kali bertanya dan tidak ada kepastian, Luna keluar dari ruangan tersebut dengan wajah yang kesal.

Dia pun segera menelpon Karina tanpa memperhatikan waktu kerja. Di lorong itu, dirinya menenteng map merah seorang diri karena jam pagi selalu sepi sebab banyak yang sedang sibuk.

Terdengar sedikit tawa dari ruangan miliknya sehingga Luna merasa kalau dirinya tengah dipermainkan oleh rekan kerjanya.

“Oh, jadi gini ya dipermainkan sebagai anak baru oleh senior. Gue gak terima sebenernya kalau diginiin, tapi apa boleh buat gue juga mau nyari pembelaan,” batinnya.

“Hallo, Kak Karina. Tolong banget kakak segera ke sini karena aku sedang nangis sendiri. Aku ada di toilet lantai satu,” ucap Luna dari sambungan telepon.

Mendengar kepanikan itu pun akhirnya Karina bergegas menemui Luna di toilet lantai satu. Mereka berdiskusi dengan berbisik-bisik terkait tugas yang diberikan oleh atasan kepada Luna.

“Iya udah, sekarang lo tenang dulu. Gue sempat ada kenalan dengan salah satu rekan divisi purchasing, lo masuk aja dulu nanti bakal ada yang dateng,” saran Karina sambil mencari kontak nomor milik temannya.

“Tapi mau ditaruh di mana muka gue, Kak? Mereka bahkan menertawakanku,” jawab Luna sedikit gelisah.

“Udah! Lo sekarang masuk aja atau nanti banyak yang curiga kita terlalu lama mengobrol di sini,” timpal Karina sambil melirik ke arah pintu.

Setelah Luna keluar dari toilet, Karina memutar bola matanya dengan kesal. “Iya begini nih! Kurang sabar apa coba gue ngadepin anak gak tau diri kaya dia!” gerutunya.

“Udah dimasukkin jalur orang dalam, sekarang malah nyusahin kakaknya sendiri tanpa mau mencari info sendiri. Untung gue sabar, kalau engga udah gue block tuh nomor biar gak ganggu urusan kerjaan gue di sini!” sungut Karina sambil mengelus dada.

Di dalam ruangan itu, Luna kembali duduk di meja kerja paling pojok. Masih dalam kondisi yang sama, ruangan itu benar-benar tenang dan hanya ada suara ketikan di laptop dan komputer.

Satu dari yang lainnya melirik ke arah Luna saat dirinya kembali menyalakan laptop. Dia pun merasa jadi pusat perhatian, tetapi tidak lama setelah itu ada sosok wanita yang masuk ke ruangannya.

Wanita itu adalah orang yang dia temui saat briefing pagi. Terlihat wajahnya yang memilki aura tegas dan dengan tatapan yang tajam.

“Siapa di sini anak baru, hah!” teriak seorang wanita yang memakai blazer berwarna hitam.

Luna segera mendelik dan menelan ludah, lalu dirinya mengangkat tangan. “Saya, Bu, anak baru di sini,” jawab Luna sedikit pelan karena takut.

Wanita itu berjalan menuju ke arah meja Luna dengan tatapan yang tajam tanpa berkedip. Sontak membuat hati Luna takut dan grogi.

“Memangnya kamu di sini tidak bisa bekerja secara team gitu? Harus minta bantuan ke kakakmu yang juga kerja di sini, begitu?!” omel wanita tersebut.

TAWANAN CINTA TUAN CEO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang