Bab 10 Emosi Meledak

9 1 0
                                    

Karina mengendus kesal setelah menghabiskan sebagian waktu malamnya untuk lembur. Dia menaruh tas kerjanya di meja rias lalu dengan buru-buru membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

“Aku merasa lelah hari ini, tetapi kenapa aku masih mau lanjut kerja di sini. Aku tidak tahu kenapa pikiranku berubah. Di awal aku ingin membuat Marcel memecatku tetapi makin ke sini tidak bisa dipungkiri kalau aku sudah cukup nyaman di tempat kerja, di sisi lain juga aku masih butuh uang untuk beberapa list harapanku sendiri,” gerutu Karina sambil memegang pelipisnya karena merasa sedikit pusing.

Pandangan yang diarahkan ke langit-langit kamar itu seketika membuat Karina menatap sayu. Matanya pun kini mulai bergerak lambar hingga dirinya tertidur.

Bayangan yang ada di pikirannya pada saat itu adalah soal Marcel yang masih saja mengacaukan hari-hari kerjanya.

Kebersamaan yang tak terduga sebelumnya itu mengantarkan Karina hanyut dalam bayangan masa lalu saat masih bersama dengan Marcel sewaktu sekolah. 

Sikap jail yang tak ada hentinya kini terulang kembali di tempat kerjanya, terlebih dalam satu ruangan bersama.

Keadaan yang tak lama itu seketika membuat Karina terbangun dari tidurnya saat Hani, ibu kandung Karina memanggilnya berulang kali.

“Karina! Ayo, makan malam dulu, Sayang! Kamu baru pulang jangan langsung tidur!” teriak Hani yang terdengar masuk ke gendang telinga Karina.

“Ayo! Kamu harus makan malam dulu. Mama sudah menyiapkan semua masakan ini untuk makan malam bersama,” lanjutnya.

Sambil memegang kepalanya yang terasa berat, Karina perlahan membuka matanya sambil menarik napasnya dalam-dalam.

“Iya, Mah, Karina keluar sekarang,” ucapnya tak bergairah.

Dengan langkah yang sedikit terpatah-patah, Karina mencoba melihat dirinya yang kini sudah ada di depan cermin dengan keadaan yang lusuh.

Matanya yang berat mengisyaratkan bahwa dirinya butuh istirahat untuk sementara waktu karena seharian berada di depan laptop terus.

Sedangkan tubuhnya yang lemas juga kepalanya yang terasa berat memang sudah saatnya Karina mengisi energinya dengan makan malam.

Dia pun keluar dengan tatapan yang kosong ketika melihat meja makan sudah penuh dengan makanan yang sudah disiapkan.

“Mamah tadi sore habis ke supermarket, dan kebetulan lagi ada promo Sabtu Minggu jadi Mamah belanja sayuran yang banyak.

Makan yang banyak ya Sayang karena Mamah hari ini lagi bahagia,” ucap Hani disispkan senyum ramah.

Karina hanya menelan ludah sambil duduk di depan piring kosong yang tinggal di isi beberapa menu makanan sesuai keinginannya.

Tidak lama kemudian, Karina mengedarkan pandangannya ke balik pintu dapur yang ternyata sudah berdiri Luna di seberang.

Wajah adik tiri itu terlihat berseri seperti tengah berbahagia. Dari situlah Karina baru paham soal obrolan yang dibicarakan mamanya sebelum melihat ke arah Luna.

“E-eh, bagaimana mah?” tanya Karina terburu-buru. Dia melemparkan pertanyaan tersebut sambil mengambil beberapa lauk yang sudah tersaji di depannya.

Raut wajahnya yang gugup itu mendapat perhatian dari Hani dengan berkata, “Hah? Bagaimana apanya?”

“Oh! Itu tadi Mama sempat bilang kalau lagi bahagia, memangnya ada apa?” tanya Karina sambil melirik ke arah Luna yang ternyata sedang berjalan menuju ke meja makan.

Kini ruang makan yang bersambung dengan dapur itu sudah lengkap diisi oleh penghuni rumah yang terdiri dari tiga orang.

Karina sempat malas karena melihat Luna datang seolah ingin menghancurkan makan malamnya yang sudah dia tunggu sebelumnya.

“Bukan apa-apa Karina. Sudah, kalian makan saja yah, ini sudah selesai semuanya,” ucap Hani mencoba untuk mengalihkan pembicaraan saat Luna duduk di seberang Karina.

Makan malam itu cukup membuat Karina ingin cepat-cepat menghabiskan porsi makannya karena kehadiran Luna.

Pikirannya masih saja terbayang soal keinginan Ridwan yang meminta adik tirinya untuk masuk ke perusahaan tempatnya bekerja.

Sudah lima menit berlalu, Karina hanya diam sambil mengunyah makanannya masuk secara perlahan. Tidak ada mood yang baik untuk ikut mengobrol bersama Luna juga dengan Hani.

Di suapan terakhirnya, Karina baru mengangkat kepalanya karena ingin mengambil minum yang sudah disiapkan.

Dia pun sedikit mencuri perhatian dengan berdeham layaknya tengah tersedak makanan. “Karina, kamu hati-hati kalo makan yah, jangan sampe tersedak begitu, bahaya. Kamu tahu kan kalau orang tersedak bisa aja dilarikan ke rumah sakit loh,” ucap Hani sebagai peringatan.

Karina menenguk minumannya dan mulai mencoba membuka mulutnya untuk ikut membahas soal pekerjaan yang sedari tadi Luna bicarakan.

“Memangnya, lo mau serius kerja di perusahaan gue?” tanya Karina sedikit acuh.

Luna melirik sambil mengunyah sisa makanannya terakhir. “Iya jelas lah, ‘kan memang gue mau kerja di perusahaan lo karena masuk list perusahaan yang gue impikan,” jawab Luna sedikit menaikkan nada suaranya.

Karina hanya mengangguk pelan seolah dirinya tahu bahwa Luna tidak sepenuhnya benar mengatakan hal demikian.

Tetapi, untuk menjaga sikapnya di depan Hani, dia hanya bisa berpura-pura menghargai adik tirinya. Jika saja tidak ada Hani, mungkin Karina sudah berbicara dengan penuh emosi karena malas berurusan dengan adik tiri yang selalu saja dibilang tanggungan dari ayahnya.

“Oh, perusahaan impian yah,” sindir Karina sedikit melengos. “Kerja di sana itu berat, kalau lo cuma mau bergaya mah cobain kerja di perusahaan middle dulu biar tahu rasanya pulang kerja malam kaya gini karena harus lembur,” lanjutnya.

Mendengar hal tersebut, wajah Luna mendadak berubah seolah dirinya tengah direndahkan di depan mama tirinya.

Dia pun langsung menaikkan dagunya sedikit dan berkata, “Lo gausah sok keliatan paling kuat deh buat kerja di perusahaan semacam itu. Lagian dimana-mana juga udah tahu kalau kerja itu pasti berat dan ada tanggungan lembur kalau dibutuhkan. Memangnya lo mau gitu? Bukannya lo tuh sering ngeluh karena cape?”

“Iya, makanya gue nanya ke lo tau ngga! Jangan seenaknya sendiri hanya karena gue kerja di sana terus lo mau minta bantuan gue buat masukin lo, terus misal gak kuat dengan sistem kerja di sana lo keluar gitu, yang ada malu-maluin gue tau ga!” sungut Karina sedikit emosi.

Hani yang mendengar suara Karina mulai meninggi hanya bisa melongo melihat percakapan dua pemudi yang ada di depannya sendiri.

Belum lagi Luna juga tidak mau kalah untuk melawan tuduhan yang belum terjadi pada dirinya. “Eh, jangan sembarangan ngomong juga! Lagian gue juga udah siap buat kerja karena tujuan gue mau dapat penghasilan. Seenaknya sendiri lo ngomong kalau gue gak bisa tahan kerja dan tekanannya di sana.”

“Iya, terus?! Gue cuma mau ngingetin lo dulu sebelum bener-bener mau kerja di sana. Lagian kalau bukan karena gue, emangnya lo bisa tembus kerja di perusahaan tempat gue kerja gitu?” ancam Karina dengan sindiran yang cukup terdengar keras di telinga Luna.

TAWANAN CINTA TUAN CEO Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ