9. Egois

44 3 0
                                    

Apa yang ada di pikirannya sekarang? Penuh dengan tanda tanya. Tiga tahun satu kelas dengan Jihan selama di SMA, ia sama sekali tidak pernah menaruh rasa kepadanya. Ia begitu gundah, mengapa rasanya begitu sakit? Sungguh, hati itu benar-benar tidak bisa ditebak. Bahkan, hingga saat ini, ia yakin tidak memiliki perasaan terhadap Jihan.

Jaka, Valen, dan Vonny tidak menghiraukan Gian. Mereka sedang membahas tentang salah satu novel yang banyak dibahas orang-orang. Gian mencoba mengingat, apakah ia pernah berada di posisi ini? Oh, tentu saja. Malam itu bahkan Gian hanya biasa saja. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Hanya saja ia sedikit kaget, tidak lebih.

Gian terus mengingat kembali ke waktu yang telah berlalu. Gian berhasil mengingatnya. Tepatnya ketika Gian masuk ke kelas sambil membawa dua permen yang disimpan dalam sakunya. Ketika ia berada di kantin, ia ingin sekali memberikan sesuatu seperti permen kepada Jihan. Namun, ketika ia masuk ke kelas, ia melihat Jihan begitu riang ketika mendengar cerita dari Arkan.

Ia tidak mengingat dengan pasti tepat kapan kejadiannya, tetapi perasaannya kala itu begitu sakit. Aneh? Tentu saja. Bahkan, Gian selalu mengatakan kepada Jihan bahwa mereka itu adalah dua sahabat yang terikat oleh dua jari kelingking. Suasana hatinya tentu saja begitu buruk. Namun, apa yang bisa dilakukannya? Ia berusaha untuk melawan perasaan anehnya itu.

Berhasil? Tidak sepenuhnya. Namun, ia sudah berusaha untuk terlihat baik-baik saja ketika piket dengan Jihan. Jadwal piket mereka sama, itu unik. Suasana hati Gian sekarang dengan kala itu tidak jauh berbeda.

"Tidak, persahabatan ini tidak boleh hancur karena rasa suka. Aku yakin ini mungkin karena sudah lama tidak bisa berbicara banyak dengan Jihan karena sibuk dengan skripsi," batin Gian berusaha mengendalikan perasaannya.

"Main kartu UNO, yuk!" Vonny memecahkan lamunan Gian.

"Eh, kamu bawa kartu UNO?" tanya Valen.

"Iya, kenapa?"

"Aneh, kamu ke sini mau joging atau main UNO? Bisa-bisanya kamu bawa kartu UNO," ucap Valen.

"Ih, apa salahnya?"

"Bagus dong, biar gak bosan. Mana kartunya?" tanya Jaka menjulurkan tangannya kepada Vonny.

"Nih, siap-siap kalah, ya!" seru Vonny dengan percaya diri.

"Nanti dikasih +4 nangis," balas Valen terkekeh.

"Gaya kamu. Eh Gian, ayo main." Vonny mengajak Gian untuk bermain supaya ia tidak memikirkan hal yang rumit.

"Eh iya, maaf."

Jaka membagi kartu UNO dengan masing-masing mereka dapat tujuh kartu. Gian melihat kartu UNO yang dipegangnya.

"Ah! Jelek amat kartuku," ucap Gian kesal.

"Nah, ini nih ciri-ciri kalau nanti kalah udah dapat alasan. Main aja udah, mau bagus pun kartu kau, tetap aja aku yang menang." Jaka dengan percaya diri mengatakan itu kepada Gian.

"Percaya diri amat kau, nih +4."

Valen mengeluarkan kartu +4. Gian tertawa keras, Vonny juga begitu. Namun, Jaka juga ikut tertawa karena ia justru mengeluarkan kartu +4  dan giliran selanjutnya ialah Gian.

"Kartuku gak secerah pagi ini. Awas kalian, ya."

Gian mendapatkan kartu yang cukup banyak. Namun, ia justru mendapatkan kartu yang bisa membalikkan keadaan. Ia mengatur strategi kartu mana yang akan dikeluarkannya. Saat ini Vonny masih unggul karena sesekali mengeluarkan kartu +2. Mereka berempat memang suka bermain kartu UNO. Jika melihat statistik beberapa permainan terakhir, Vonny  unggul karena selalu menang pertama.

Dua Jari Kelingkingजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें