1. Taman Tak Berbatas

133 10 2
                                    

Taman itu sungguh indah untuknya. Belum pernah ia menjumpai taman yang dikelilingi oleh bunga mawar, melati, dan ragam bunga lainnya. Namun, anehnya taman ini tidak tersentuh oleh siapapun selain dirinya. Apakah itu mimpi? Pikirnya. Anak laki-laki itu terus berjalan sambil memetik bunga yang disukainya.

"Ada orang," ucapnya ingin segera menghampiri orang tersebut.

Anak laki-laki itu bernama Gian. Umurnya yang masih proses beranjak ke remaja itu dikenal sebagai anak yang periang, suka tertawa, bahkan selalu senyum kepada orang yang ia jumpai di sekitarnya. Tak heran jika ia ingin sekali bisa menyapa orang tersebut.

"Kakak!" Seru Gian. "Kok Kakak sendirian di sini?" Tanya Gian kepada gadis yang sedang duduk di bangku taman.

Gadis itu begitu cantik dan anggun. Ia mengenakan dress warna putih dan bando warna merah. Rambutnya yang panjang semakin terlihat indah ketika angin menerbangkannya.

"Kakak setiap hari ke sini. Duduklah," ucap gadis itu tersenyum.

Gian terharu bisa menemui seorang gadis cantik seperti di hadapannya. Perasaan Gian begitu senang dan ingin sekali bisa bermain dengannya. Ia memberikan bunga mawar merah kepada gadis itu.

"Ini untuk Kakak," ucap Gian menyerahkan bunga mawar merah kepada gadis yang ada di hadapannya.

"Bagus sekali, kamu petik di sana tadi, ya?" Tanya gadis itu sambil menunjuk arah selatan.

Gian melihat ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu.

"Iya, Kak. Soalnya Gian tertarik untuk memetiknya. Gak ada salahnya kan, Kak?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya, "Gakpapa, justru bunga bikin suasana hati kita jadi sejuk."

Gian terus memandang gadis itu. Perasaan Gian tiba-tiba gundah. Air matanya membasahi kedua pipinya.

"Kamu kenapa nangis?" Tanya gadis itu sambil mengusap air mata Gian.

"Gian gak tau, Kak. Ketika Gian perhatikan Kakak, rasanya ada yang aneh. Namun, Gian tidak tau apa yang Gian rasakan."

Gadis itu langsung memeluk Gian dengan erat. Ia berusaha menenangkan Gian dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Kakak?" Tanya Gian pelan.

"Iya? Kenapa?"

Gian menyerahkan selembar kertas yang ia simpan dalam sakunya kepada gadis itu. Terlihat ada gambar yang digambar menggunakan pensil tanpa diberi warna.

"Wah, ini kamu yang gambar?" Tanya gadis itu penasaran.

Gian menganggukkan kepalanya penuh percaya diri. Ia tidak mempedulikan matanya yang masih basah.

"Ini ayah, ibu, dan ini siapa?"

"Kok Kakak tau itu ayah dan ibu Gian? Kalau yang satu lagi itu Gian gak tau, Kak. Namun, Gian merasa bahwa orang yang Gian gambar itu begitu berarti."

Sekarang giliran gadis itu yang mengeluarkan air matanya. Gian mengambil kertas itu dan langsung menanyakan mengapa gadis itu menangis.

"Kakak kenapa? Kakak baik-baik aja, 'kan? Kak?" Tanya Gian khawatir.

Gadis itu tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas apa yang dirasakannya kepada Gian. Ia berusaha menghapus air matanya dan tidak ingin terlihat sedih di depan Gian.

"Gian minta maaf ya, Kak. Gara-gara gambar itu Kakak jadi sedih," ucap Gian merasa bersalah.

"Eh, gakpapa, Gian. Mata Kakak kelilipan aja. Bukan apa-apa kok."

Seketika suasana di antara mereka menjadi hening. Cuaca sangat cerah menemani mereka yang sedang duduk di bangku taman. Cuaca tidak bisa mencerahkan hati yang begitu abstrak, kadang senang, sedih, marah, dan begitulah emosional yang tidak terkontrol dengan baik.

Gian baru sadar bahwa taman ini begitu luas. Ia bahkan tidak melihat satu pun gedung melainkan pohon, bunga, dan hamparan rumput hijau yang luas.

"Kenapa? Gian bingung, ya, mengapa taman ini sepi?" Gadis itu memecahkan hening antara mereka.

"Iya, Kak. Gian juga bingung kenapa tiba-tiba bisa ada di sini. Sebenarnya ini taman apa, Kak?"

Gadis itu meletakkan tangannya di atas kepala Gian.

"Belum saatnya kamu mengetahuinya. Kakak yakin kamu pasti nyasar."

Gian tidak ingin memaksa gadis itu untuk menjawab pertanyaannya. Namun, muncul rasa penasaran yang sejak tadi belum ia tanyakan.

"Nama Kakak siapa?" Tanya Gian penasaran.

"Nama Kakak? Coba tebak." Gadis itu ingin bermain sejenak dengan Gian.

"Ih, Gian mana tau, Kak! Hm, Bunga? Melati? Mawar?" Ucap Gian dengan nada kesal.

Gadis itu tertawa lepas mendengar jawaban dari Gian. Nama bunga yang ia jumpai tadi disebutkan oleh Gian satu per satu.

"Kak! Nama Kakak siapa? Gian pengen tau." Kali ini Gian ingin memaksa gadis itu untuk menjawabnya.

"Coba perhatiin wajah Kakak. Yakin kamu gak tau?"

Gian melihat ke langit sambil berpikir siapa nama gadis yang ada di sampingnya saat ini.

"Udah, kamu gak perlu memikirkan itu."

Gian bertambah kesal karena gadis itu tak kunjung menjawab pertanyaannya. Ia memalingkan wajahnya dari gadis itu.

"Hahaha, Gian gak boleh gitu. Masa ngambek sama Kakak," ucap gadis itu tertawa.

"Kakak gak mau kasih tau namanya," ucap Gian dengan nada kesal.

"Kamu mau tau beneran nama Kakak?"

Gian langsung berbalik badan dan memperlihatkan raut wajah bahagianya karena akan mengetahui siapa nama gadis yang ia jumpai. Gian begitu penasaran karena ia merasa bahwa gadis itu begitu lemah lembut. Ia ingin sekali bisa selalu dekat dengan gadis itu.

"Kalau pengen tau nama Kakak, ada syaratnya."

"Ih, kok pakai syarat sih, Kak?"

"Loh, katanya penasaran? Harus ada syarat dong."

Gian kali ini mengalah. Ia akan menuruti persyaratan yang diberikan oleh gadis itu.

"Gian harus tutup mata terlebih dahulu sampai Kakak selesai menghitung 1 sampai 5."

Gian menuruti persyaratan dari gadis itu dengan senang hati. Ia menutup matanya sambil menunggu hitungan itu berhenti.

"Jangan berhenti ya, Gian. 1 ... 2 ... 3 ... 4 ... 5, sekarang buka mata kamu, Gian."

Gian membuka matanya.

"Kak? Kok hilang? Kakak ke mana?" Ia melihat sekitarnya, tetapi tidak ada siapa-siapa.

Angin seketika berhembus dengan kencang. Perlahan awan berubah menjadi gelap. Ia terdiam tak percaya kalau gadis itu hilang dari hadapannya. Ia tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi. Rintik hujan perlahan turun.

Gian sama sekali tidak beranjak dari bangku taman itu. Ia tertunduk dan berusaha berpikir bahwa gadis yang ia temui tadi itu benar nyata.

Hujan turun hingga membentuk genangan air di depan bangku taman yang ditempati Gian.

Gian menatap genangan air itu. Ia melihat wajahnya yang tampak lebih tua dari umurnya saat ini.

"Apakah aku akan bertemu dengannya suatu saat nanti di taman ini?"

Gian menatap langit tanpa sadar air matanya kembali membasahi pipinya. Air matanya menyatu dengan rintik hujan yang membasahinya.

Coba perhatiin wajah Kakak. Yakin kamu gak tau?

"Apa maksudnya? Apakah aku sungguh mengenalinya? Dan ini di mana sebenarnya?"

•••

Dua Jari KelingkingWhere stories live. Discover now