6. Pengorbanan

46 4 0
                                    

"Aku tidak peduli dengan mereka. Entah mereka akan wisuda dalam waktu dekat ini, udah seminar proposal penelitian, apapun itu aku tidak peduli!"

Gian mengeluarkan semua amarahnya melalui catatannya. Ia memang suka menulis apa yang ingin disampaikannya. Namun, ia enggan orang lain mengetahuinya.

"Ah! Kenapa aku bodoh kali? Kenapa aku harus berada dalam situasi ini?" ucap Gian meremukkan kertas dan membuangnya.

Laptop-nya masih menyala di atas meja. Lampu kamarnya dibiarkan mati meskipun sekarang lagi mendung. Kamarnya begitu gelap menyisakan cahaya dari jendela.

"Apakah aku orang paling menderita di dunia ini? Ah, terlalu hiperbola."

Hanya sebagian orang yang tahu mengapa proses dalam mengerjakan proposal penelitian Gian tidak secepat yang lainnya.

Gian, kapan sempro? Kok belum juga?

"Cih, kalian tau apa soal aku?"

Tadi pagi Shella pamit untuk keluar tanpa mengatakan ia ingin pergi ke mana kepada Widya. Namun, ia mengirim pesan kepada Gian melalui pesan WhatsApp.

"Kakak pergi daftar kerja dulu. Doain kakak lulus, ya! Jajan kamu ada di bawah laptop."

Gian sadar atas tingkahnya yang masih belum dewasa menyikapi permasalahan yang terjadi dengan Shella. Tanpa Shella, Gian tidak mungkin bisa berada di posisi sekarang yang sudah menyandang status mahasiswa akhir. Bertengkar, lalu baikan dengan sendirinya sudah menjadi hal biasa antara Gian dan shella.

Namun, mengetahui Shella harus banting tulang menggantikan posisi Arman, mengurangi beban Widya, dan membiayai uang kuliah Gian, ia semakin merasa bersalah telah mengatakan kalimat yang tidak pantas kepada Shella.

Teringat ketika Gian diterima melalui jalur undangan di kampus yang diinginkannya, ia begitu senang. Bagaimana tidak? Bukan suatu hal yang bisa ia duga akan diterima melalui jalur undangan. Namun, kebahagiaan saat itu hanya sesaat.

Flashback empat tahun yang lalu

Gian terlihat tidak tenang ketika sedang makan. Shella menatapnya dengan sinis dari kejauhan. Awalnya Shella tidak menghiraukannya, tetapi ketika dibiarkan, justru Gian semakin tidak tenang. Raut wajahnya yang terlihat panik dan tatapannya yang kosong membuat Shella jengkel.

"Gian, kalau makan itu fokus sama makanannya," tegur Shella dari kejauhan.

Gian menggelengkan kepalanya. Ia minta maaf kepada Shella karena makan dengan keadaan tidak fokus. Ia sejujurnya begitu tidak tenang karena memikirkan pengumuman jalur undangan. Apakah ia akan lulus? Ia sadar jika nantinya tidak lulus, maka peluangnya untuk mengikuti jalur ujian tulis akan semakin sulit.

Bahkan bisa dibilang peluangnya kemungkinan besar tidak ada. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan, bagi yang mengikuti jalur undangan dan tidak lulus, maka tidak diperkenankan untuk mengikuti jalur ujian tertulis. Ia ingin sekali lulus dan tidak ingin sampai hasilnya mengecewakan.

"Habiskan cepat," kata Shella yang duduk di samping Gian.

Gian hanya mengangguk apa yang dikatakan oleh Shella.

"Minum dulu, jangan langsung berdiri abis makan. Kalau udah agak tenang, cuci piringnya abis itu duduk di sini lagi."

"Iya, Kak."

Gian melakukan apa yang diperintahkan oleh Shella.

"Eh!" hampir saja piring yang ingin dicucinya terjatuh.

"Kenapa?" tanya Shella.

"Hehe, hampir jatuh piringnya, Kak."

Shella menepuk jidatnya. Ia heran mengapa bisa punya adik seperti Gian. Namun, ia bersyukur Gian menjadi adik yang baik meskipun terkadang membuatnya jengkel.

Dua Jari KelingkingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang