"Terus dikasih nggak?" Tanya Naqiya yang saat ini trust issue pada siapapun. Setelah kepercayaannya dikhianati oleh orang-orang ia percaya, tingkat kewaspadaan wanita itu meningkat.

Bara diam, ia pun tak tahu apakah Ayu memberikan stok ASI untuk Gaza atau tidak karena belum menghitung jumlahnya nya.

"Nggak bisa jawab 'kan?" Tanya Naqiya menyudutkan Bara lagi. "Anak sendiri kaya mainan aja dititip-titip sama orang. Kalo mau dititipin kenapa nggak ke Umi kalo gitu."

Kepala Bara menggeleng, "Mas khawatir ngerepotin Umi malem-malem, waktunya mereka istirahat juga."

"Harusnya siapa yang jaga emang?"

"Papanya."

"Nah itu tau?" Tanyanya lagi dengan menyindir Bara agar pria itu paham dimana letak kesalahan fatalnya. Ceroboh menitipkan bayinya sendiri pada orang lain.

"Mas tau sendiri Gaza kulitnya bolak-balik ke dokter karena sensitif gitu. Gampang kemerahan, kalo udah kemerahan gampang rewel. Tau gitu masih sembarangan nitipin ke orang, coba Mas mikir lah, Gaza juga anak kandung Mas sendiri, jangan ngerasa direpotin," Gerutu Naqiya pada suaminya.

Naqiya benar-benar dibuat kesal malam ini. Rasa kesal yang makin besar setelah ucapan tidak mengenakan dari Tsania tadi. Tetapi, melihat Bara yang ekspresinya datar seperti ini justru menambah kekesalannya.

"Jangan ngerasa Mas ini yang paling capek jadi orangtua. Aku cuma nitipin Gaza sebentar loh, nggak ada dua puluh empat jam. Selebihnya? Gaza juga sama aku, sama Umi Abi," Cecar Naqiya mengeluarkan semua keluh kesahnya selama ini.

Naqiya menatap dalam-dalam bayinya yang asyik menyusu dari botol itu. "Dari pulang kuliah, aku udah harus ngurus Gaza. Belum masak, bersih-bersih rumah. Ditambah tugas-tugas. Mas pikir tugas-tugasku tinggal nyalin? Nggak! Aku mikir. Mikir dikit, Gaza minta nen. Belajar dikit, Gaza nangis. Pernah nggak Mas mikir itu sedikit aja?"

"Kalopun aku nggak ada tugas, siapa yang masakin Mas Bara setiap hari kalo bukan aku? Siapa yang bersih-bersih rumah? Mas mikir nggak sih kalo aku seharusnya di umur segini masih sering hangout sama temen-temenku!"

Saat Naqiya mengucapkan kalimat tersebut, gadis itu tersenggal dalam air mata yang tumpah lagi. Benar, seharusnya Naqiya setelah pulang kuliah dan memiliki waktu luang bisa memanfaatkan itu untuk mengeksplorasi potensi diri.

Entah itu menambah relasi pertemanan, mengikuti organisasi dan himpunan, atau magang untuk memperkaya CV nya nanti 'kan?

Seharusnya di usia mencari jati diri begini, Naqiya banyak-banyak mencoba hal-hal baru yang tak pernah ia coba. Di usia yang antusiasme dan rasa penasaran yang masih tinggi seharusnya bisa membuat Naqiya semakin berprestasi lagi di bidang akademisnya.

Itulah yang seharusnya terjadi. Namun, tak semua hal di dunia berjalan seperti yang seharusnya bukan? Waktu yang kosong itulah ia manfaatkan untuk mengabdi pada keluarga kecilnya ini. Untuk menaruh banyak bakti pada sang suami.

Ya, semata-mata agar Allah merindhoinya.

Sekalipun ia tak siap berumah tangga, tapi Naqiya mencintai Bara dan benar-benar serius menjalani bahtera rumah tangga ini. Naqiya bersumpah, dirinya telah berjuang sedemikian rupa untuk menjadi istri yang baik.

Apakah masih kurang di mata Bara?

Apakah segala pengorbanannya tak cukup?

Entah, apalagi yang mesti Naqiya lakukan. Sebab, ia rasa segalanya sudah ia berikan juga.

"Harusnya sekarang Mas sebagai dosenku ngasih arahan buat karierku nanti. Bukan ngasih tanggung jawab sebesar ini..." Cicitnya lagi.

Ya, tanggung jawab sebesar mengemban status menjadi istri dan ibu sekaligus. Hal besar yang bisa jadi nanti akan menjadi penentu bobot amalannya di akhirat.

Bayi Dosenku 2Where stories live. Discover now