empat puluh tiga

130 15 3
                                    

Itu adalah upacara yang intim di kapel yang kecil.

Seratus orang berkumpul di sana. Para hadirin berdiri di tempat mereka masing-masing, menghadap ke pintu di belakang mereka, menunggu sang mempelai wanita muncul dari balik pintu itu dan menapaki gang yang membelah kapel menjadi dua.

Dengan sebuah kode dari sang pembawa acara, pintu dibuka. Vanesha Tirana tampak mengagumkan di dalam gaun putihnya yang sederhana. Ia tersenyum pada para tamu. Di sebelah kirinya adalah Reagan Tirtajana. Vanesha sambil menggamit lengan kanan ayah kandungnya. Tidak jauh berbeda, senyum pria itu juga tulus.

Para tamu tersentuh karena momen ini begitu manis. Anak sulung Salbatier akan menikah, dan mempelainya sangat cantik. Senyuman para tamu mengembang sempurna sementara sang mempelai dan pria yang mendampinginya itu mengambil langkah-langkah syahdu ke ujung gang.

Sementara itu, di baris paling belakang sayap kiri, di ujung yang dekat gang, Rachel Helena memandangi dua orang itu dengan datar. Tatapan sarat kantuknya kontras dengan binar-binar haru orang-orang. Wanita itu sebentar lagi seolah akan tertidur sementara ayah dan anak itu menikmati momen mereka.

Setelah Reagan duduk di samping Nina dan Vanesha di samping mempelai laki-lakinya, acara berlanjut. Kapel itu penuh dengan nyanyian merdu para jemaat, disinari berkas sinar matahari sore yang menerobos kaca jendela di dekat langit-langit. Seberkas cahaya jatuh pada wajah Rachel, dan dengan begitu saja semua romansa yang ada di dalam sinar itu patah.

Bertepatan dengan dimulainya khotbah, ponsel Rachel bergetar di saku jaketnya.

Sembari merogoh sakunya, Rachel menarik tatapannya dari mimbar dan melihat nama pemanggil itu. "Aku akan keluar sebentar," katanya pada suaminya.

Sebelum apa-apa, Rachel sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan tidak jauh ke belakang, membuka pintu kapel yang berat dan keluar dari ruangan yang terasa sungguh sesak itu. Angin pukul empat sore bertiup. Rasanya tidak pernah terasa sesegar itu.

"Halo," sapa Rachel pelan. 

"Dokter Rachel." Suara Tina sedikit sumbang.

Rachel menegang. Ia mulai meraba-raba arah percakapan.

Sementara itu, si penelepon terdiam sebentar, seolah-olah hal selanjutnya terlalu besar untuk diucapkan, atau terlalu pasti dan menakutkan. Ia tahu ia tidak memiliki waktu, jadi ditelannya getaran dalam suaranya dalam beberapa hela napas. Selanjutnya ia terdengar ikhlas, "Saya hanya ingin mengabari bahwa Ibuk sedang di ICU. Tampaknya tidak lama lagi."

Tebakan Rachel benar.

"Saya berterima kasih untuk semua pertolongan Dokter, dan mohon maaf bahwa Ibuk jadinya tidak berpartisipasi apa-apa di dalam riset Dokter."

Tina sudah selesai berbicara, tetapi tidak ada respons dari Rachel. Rachel Helena hanya seorang periset, tetapi di kepalanya terbersit Tasya, bagaimana anak perempuan itu terlihat di kaca spion Rachel sementara paha kecilnya dijadikan tumpuan bagi kepala neneknya, bagaimana anak itu menangis dan ketakutan, dan bagaimana ia tidak dipeluk.

"Apa Eyang berada di St. Joseph saat ini?" tanya Rachel, menuruni anak tangga dengan cepat meskipun kakinya kesakitan di dalam hak tingginya.

"Ya, Dokter."

"Saya ke sana sekarang."

Rachel memutus telepon. Secepat ia mencapai mobilnya, secepat itu pula ia menyalakannya.

Saat itu, jika suaminya atau ayahnya atau bahkan arwah ibunya menahannya, Rachel tidak akan menghentikan laju mobilnya. Tidak ada yang bisa menahan anak itu sekarang. Ia membelah jalanan dengan liar, mencari jalur-jalur yang lebih cepat, memotong jalan-jalan dengan licin. Ini akan menjadi pertama kalinya ia mengiringi seseorang kepada kematian. Rachel memiliki kata-kata untuk dikeluarkan. Di tangannya, terdapat sebuah kesempatan yang menjadi kerinduannya di setiap tegukan anggur dan tetes air matanya. Anak itu memiliki kesempatan sekarang, dan ia akan menggunakannya.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang