dua puluh tujuh

216 25 2
                                    

Rachel tidak ada di mana-mana.

Mobilnya tidak ada di komplek apartemennya, di panti, di kampusnya, di kediaman Arya Salbatier, Susan, Lukas, atau siapa saja.

Karena Rachel berada di depan sebuah apotek yang beroperasi 24 jam. Mobilnya terparkir sendirian di halaman parkirnya yang lembap. Jared Assad atau Reagan Tirtajana pasti akan langsung mengenali mobil itu jika mereka mencari Rachel hingga ke sebuah kota kecil di dekat ibukota itu.

Namun, tidak ada yang mencarinya sejauh itu. Tidak pernah ada dan tidak akan ada juga saat ini.

Rachel menghela napas satu-satu, mendengarkan suara jangkrik yang berisik. Cengkeramannya pada kemudi rileks. Ia melihat ke dalam apotek, menembus kaca yang dipenuhi tempelan.

Pernah satu kali ibunya mengucapkan keinginan. Kenyataannya, seingat Rachel, ibunya hanya pernah mengucapkan satu keinginan: agar Rachel menjadi Rachel. Dulu, sebagai gadis muda yang berpikir bahwa keinginan terakhir orang mati berkuasa melakukan sesuatu, Rachel berpikir bahwa ia akan betulan menjadi Rahel. Ia akan menjadi Rahel yang terpilih, yang agung, yang dikejar dan diinginkan Yakub sampai-sampai pria itu rela membanting tulang selama bertahun-tahun, melawan deraan kepahitan kepada ayah mertuanya karena telah melanggar janjinya, dan ini dan itu.

Kini, bertahun-tahun sudah berlalu sejak terakhir kali anak itu berpikir keinginan ibunya akan menjadi nyata. Sudah hampir tiga puluh tahun, dan Rachel belum pernah menjadi Rahel. Rachel tidak akan pernah menjadi sosok itu.

Rachel sedikit menunduk ke arah kiri demi menjangkau dasbor. Dibukanya tutup ruang kecil itu dan diambilnya setumpuk kertas dan sebuah pulpen.

Rachel Helena sudah bersiap-siap untuk momen seperti ini sejak lama. Ia menyimpan kertas resep dan sebatang bolpen di dalam dasbornya. Ia tidak pernah mengeluarkannya. Persiapannya sudah sejak bertahun-tahun lalu, dan baru ini akhirnya saatnya tiba.

Cahaya putih dari lampu apotek itu menembus kaca mobil, menyinari Rachel yang menulis beberapa nama obat di atas kertas itu, berikut dosis yang ia butuhkan. Ketika ia menuliskan tanggal, tangannya berhenti sejenak. Matanya masuk ke kedalaman yang selalu ia hindari. Rachel memotret tanggal itu dengan kedua mata yang didapatnya dari ibunya dan menyimpannya di hatinya.

Tidak lama kemudian, resep itu sudah ditandatangani. Dan tidak lama dari sana, sang apoteker sudah mempersiapkannya.

Rachel menunggu dengan sabar di ruang sempit yang tersisa antara etalase dan tembok. Matanya menjelajah ruangan tua itu dan memotret semua apa yang bisa ia tangkap. Ia menyimpan pemandangan itu juga di dalam hatinya.

"Baik, Ibu Rachel..." Apoteker itu menyebarkan kantung-kantung berisi obat di atas etalase, menyita perhatian satu-satunya pelanggannya malam itu.

Rachel memperhatikannya. Wajah wanita muda itu begitu polos dan, untuk beberapa alasan, Rachel berpikir ia harus mencari tempat yang sepi setelah ini meskipun tubuhnya yang seharian tegang sudah remuk.

"...Yang ini hanya diminum jika cemas," tutup apoteker itu.

"Oke." Rachel menerima sekantung plastik berisi obat-obatannya tanpa menangkap satu kata pun dari penjelasan apoteker di depannya. "Terima kasih. Bisa saya meminta air mineral botol itu juga?"

Apoteker itu memberikan apa yang Rachel minta. Terjadi proses pembayaran dan semuanya selesai.

"Semoga lekas pulih," pesan apoteker itu pelan.

Pengunjung lain biasanya akan membalas amin, tetapi Rachel, "Tentu saja."

Wanita itu kembali ke dalam mobilnya, menyetirnya semakin jauh dari tempat asalnya. Ayamnya sudah tidak berisik di sampingnya. Hewan itu hanya sedikit bergoyang-goyang seiring dengan ban mobil yang menghantam setiap lubang di jalanan yang rusak.

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang