tiga

380 44 6
                                    

Tidak seperti ayahnya yang sibuk dengan pekerjaannya, Rachel lowong. Tim risetnya tidak memiliki agenda apa-apa setelah sukses dengan penelitian terakhir mereka beberapa hari lalu.

Ia memang kepikiran soal nama pria asing yang ia benci itu, yang baru didapatkannya tadi karena ayahnya. Dan Rachel memang sudah memikirkan cara-cara untuk bertemu dengan Jared Assad dan menyelesaikan semua yang pria itu ciptakan di antara mereka. 

Sejauh ini, yang Rachel tahu adalah bahwa pria itu merupakan petinggi sebuah perusahaan sektor infrastruktur. Lebih dari itu, Rachel harus menggali informasi dari Arya Salbatier tentang rekan bisnisnya itu demi bisa segera bertemu dengannya. 

Namun, wanita itu tidak bisa bertanya, misalnya, Arya, lo tahu di mana kediaman Jared Assad atau nomor teleponnya? Karena kemudian Arya Salbatier akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya tidak bisa wanita itu berikan mengingat Rachel Helena menyimpan hampir semua hal untuk dirinya sendiri. Jadi tidak ada titik awal dari bahkan satu jawaban yang akan Arya minta. 

Jadi, wanita yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana itu memilih untuk mengerjakan tesisnya. Semuanya berjalan lancar sampai ia harus menulis sesuatu.

Di depan layar laptopnya yang menampilkan halaman kosong, Rachel duduk termangu.

Mungkin karena alkohol semalam, atau mungkin karena kedatangan ayahnya, mahasiswi magister Filsafat Keilahian Fakultas Teologi itu tidak bisa menulis apa-apa di halaman di depannya. Kepalanya penuh dengan tuduhan bahwa penurunan kompetensi intelektual semacam itu adalah konsekuensi dari kebiasaan buruknya.

Ia sudah minum sejak lulus S1 dan bergelar dokter. Itu adalah enam tahun lalu. Sudah lama, dan sebagai dokter, ia tahu apa konsekuensi klinis dari itu. Semua konsekuensi itu merugikan, jika tidak mematikan. Jadi ketidakmampuan untuk menulis apa-apa hanyalah konsekuensi kecil. Di titik itu, ia seharusnya sudah berada di bawah tanah atau dalam sebuah suaka karena fungsi luhurnya yang menurun atau rusak sama sekali.

Kenyataan bahwa ia tidak berada di kedua tempat itu membuatnya percaya bahwa Tuhan betulan ada dan penuh kasih karunia serta rahmat.

Di sisi lain, hatinya memprotes logikanya dan mengatakan bahwa halaman itu kosong karena kedatangan Reagan yang mengembalikan emosi-emosi yang alkohol berusaha redam. Emosi-emosi itu mendominasinya dan membuatnya harus terus-menerus teralihkan, karena semua kemarahan, kepahitan, dan penyesalan itu memakannya hidup-hidup. Mereka membenarkan enam tahun adiksi yang penuh dengan tenggakan, muntahan, represi emosi, dan pemikulan semua beban mental yang terasa seperti salib tetapi adalah kenormalan dalam kehidupan sehari-hari.

Semua kemustahilan untuk meregulasi emosinya, yang kemudian berdampak pada spiritualitasnya, membuat Rachel percaya bahwa Tuhan ada, dan Ia memang baik, tetapi tidak kepadanya.

Rachel menghela nafas satu-satu, begitu tenang dan teratur, berlawanan dengan urgensi yang muncul mendesak untuk minum lagi sampai ia meraih titik yang kosong dan sunyi.

Mungkin itu yang membuat Reagan muak dengan putri dari pernikahannya. Rachel penuh dengan kemunafikan dan ironi.

Wanita itu menutup layar laptopnya. Masih ada 2 tahun sebelum sidang tesisnya.

Ia bangkit dari kursi, meraih jaket kulitnya, dan mengambil sebuah berkas dari dalam laci mejanya. Berkas itu sudah dilupakannya karena ia tahu bahwa, jika ia menggunakan strategi studi yang ini, maka ia akan jatuh ke dalam kebencian yang lebih kental. Namun, ia tersudut dan ia tahu bahwa tesisnya akan lebih faktual serta memberkati jika ia menempuh langkah ini.

Rachel yang sudah bersih dan berada dalam jins serta tank top-nya membawa seplastik makanan pemberian ayahnya dan keluar dari sana.

Jalanan lengang di hari Jumat pagi itu. Mobil sedan wanita itu berhenti di lampu merah, tepat sebelum zebra cross

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedWhere stories live. Discover now