dua puluh delapan

203 20 0
                                    

Tidak ada air di sekitar sana. Pom bensinnya tutup, sehingga begitu pula kamar mandi di dalamnya. Tidak ada warung atau restoran juga. Hanya ada pohon-pohon ceking yang berdiri tidak beraturan di sisi jurang.

Tanpa membuang banyak waktu, Rachel meraih botol air mineral yang ia letakkan di kursi sampingnya. Ia membuka pintu di sebelahnya, memanjangkan tangannya ke luar, dan mencuci kedua tangannya. Ia mengguyur air ke kedua tangannya secara bergantian, meggosoknya dengan kasar, dan membilasnya sampai airnya habis. Rachel kemudian meraih tisu dan mengelap tangannya. Ia mengelapnya berkali-kali, menggosok tangannya kuat-kuat sampai lembaran tisu itu sobek-sobek dan kedua tangannya memerah serta sakit.

Wanita itu memungut tablet-tablet yang tergeletak di lantai mobil dan membuangnya ke plastik yang tadinya menampung obat-obatannya. Ia mengikat plastik itu kencang-kencang. Ia menyimpannya di sampingnya.

Rachel menyetir cukup lama lagi pukul 1 malam itu, dan cukup jauh. Cukup membuatnya pegal juga, sebetulnya, karena duka atas kematian neneknya menempelinya seperti muntahan iblis. Rachel memang menelan duka itu dengan begitu saja seolah kematian itu adalah permen kapas yang mudah larut. Namun duka adalah sesuatu yang lain. Ia tidak bisa, dan sebaiknya jangan, ditelan mentah-mentah. Jika tidak, ia akan meracuni, tersimpan di dalam tubuh dan membuat tegang otot-otot, menimbulkan rasa nyeri, sakit kepala, dan keinginan untuk bercerai.

Wanita itu memakirkan mobilnya di depan rumah sakit jiwa yang subuh hari itu lengang. Ia masuk dengan kardus berisi ayamnya di tangan kanan dan kantung obat yang ia benci di tangan kirinya. Rachel tidak mau berhubungan apa-apa dengan obat itu lagi, tapi ia harus bisa menembus bagian depan demi masuk ke belakang dan menemui perawat neneknya. Satu hal yang wanita itu perhatikan sejak pukul 12 malam tadi, bahwa ponselnya tidak berhenti bergetar. Jadi, ia akan masuk dan mendapatkan perawat itu. Bagaimana pun caranya, Rachel harus menemukan wanita paruh baya itu.

"Selamat malam," sapa Rachel kepada satu-satunya dokter yang terlihat bertugas di bagian unit gawat darurat.

Dokter pria berusia pertengahan 30an itu menatap Rachel dari tempat duduknya. "Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, dan bukannya ada keluhan apa? karena wanita ini tidak kelihatan sakit.

"Saya hampir membunuh diri saya." Rachel meletakkan plastik obat-obatannya dan meletakkannya di meja di depan sang dokter.

Dokter muda tersebut membuka plastik putih itu. Plastik itu penuh obat yang sudah rusak dan jumlahnya sangat banyak. Ia terpaku. Pria itu menatap pasiennya yang sudah duduk di depannya dan sudah meletakkan kardusnya di lantai. "Baik, silakan duduk di tempat tidur sana untuk dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu."

Rachel tidak bergerak. Ia menjelaskan semuanya dengan mata yang sayu dan keletihan yang ia letakkan di bawah kakinya, "Saya mendapat diagnosa depresi dan ansietas akut sembilan tahun lalu. Saya diberikan obat-obatan itu dan saya menyalahgunakannya dua kali. Jadi ini seharusnya menjadi upaya ketiga saya bunuh diri."

Sang dokter meletakkan pena yang berada di tangannya dan melipat tangannya demi mendengarkan pasiennya yang tidak mau disuruh pindah. "Sembilan tahun lalu Anda mengalami depresi dan ansietas akut," ulangnya. "Apakah Anda sedang berobat juga saat ini?"

"Tidak."

"Baik. Sembilan tahun lalu," kata sang dokter, membawa Rachel ke belakang, "apakah Anda tahu pemicunya?"

"Ya," kata Rachel segera. "Sekolah."

"Berapa usia Anda sekarang, Ibu..."

"Rachel. Tiga puluh dua."

"Baik, Ibu Rachel. Jadi saat itu Anda tertekan karena sekolah?" tanya sang dokter, berusaha memimpin percakapan menjadi spesifik.

"Ya. Kedokteran. Saya merasa tertekan dengan ujian dan tugas-tugas."

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedWhere stories live. Discover now