enam belas

198 31 3
                                    

Ketika Jared kembali ke dalam ruangan itu, Rachel Helena sudah berdiri di samping tempat tidurnya, menenggak habis air putih yang tersisa. Rambut lembab wanita itu sudah menyatu di dalam sebuah ikatan yang ia buat tanpa karet. Tidak ada lagi jarum infus. Sudah dibuatnya para perawat melepaskannya. Selimut sudah terlipat dengan rapi dan seprainya cukup licin.

Intinya, Rachel sudah rapi dan sudah siap pulang. Wanita sakit itu membuat mereka seolah sedang bertamasya ke rumah sakit, seolah tempat itu hotel atau apa.

"Keberatan menjelaskan kepada saya apa tepatnya yang sedang Anda lakukan, Rachel?" tanya Jared.

Rachel memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia meraih tas plastik pemberian rumah sakit yang berisi pakaian kotornya dari dalam rak di samping tempat tidur. "Saya akan pulang."

"Anda belum sembuh."

"Saya tidak akan sembuh."

"Oke, saya akan mengantar Anda pulang."

"Oke. Terima kasih."

Seorang perawat memasuki ruangan. Ia membawa gunting di tangannya dan menggunting gelang yang mengitari tangan kiri Rachel. Pasiennya baru bisa dipersilakan pulang setelah gelang itu tanggal.

Namun, gelang itu tidak hanya tanggal. Benda itu juga jatuh. Sang perawat merasa rikuh ketika tubuh jangkung Jared Assad merunduk demi mengambil sampah itu.

"Terima kasih, Pak," hatur sang perawat sembari tersenyum sopan kepada keluarga pasien itu.

"Bukan masalah," balas Jared, kemudian membuang gelang itu ke plasitk sampah. Ia membalas senyuman sang perawat, membuat wanita itu tergesa ketika memohon diri.

Tidak lama dari sana, ruangan itu sudah kosong, tapi siapa yang dapat menghapus apa yang telah terjadi di sana? Tidak ada yang dapat membatalkan percakapan antara Diane Taasatijana dan menantunya, jatuhnya hati si perawat kepada anak tunggal Assad, dan pemujaan yang Rachel rasakan kepada seorang perawat, sebuah profesi yang selalu ia impikan tetapi tidak akan pernah ia gapai di kehidupan yang ini.

Kini pasangan suami-istri itu berada di mobil, menuju ke apartemen paling tua dan paling jelek di ibu kota. Rachel melipat tangannya di depan dadanya dan memaku tatapannya ke depan.

Jared melirik wanita itu sekilas. "Selamat ulang tahun, Rachel," katanya. Ia melihat tanggal ulang tahun wanita itu di gelang tadi.

Rachel mengangguk dalam. "Terima kasih."

"Saya tidak tahu Anda berulang tahun kemarin."

"Sebagaimana seharusnya."

Tidak ada yang berbicara lagi. Mobil berjalan dalam kesunyian yang hanya Rachel bisa tahan. Tidak ada yang bisa menangguung kebisuan bersama Jared Assad. Harus ada obrolan, harus ada lantunan lagu, harus ada basa-basi atau apa saja untuk membuat orang-orang sedikit lupa bahwa dominasi pria ini begitu kuat.

Hanya Rachel yang bisa menerima kebisuan itu tanpa perlawanan apa-apa. Ia bahkan menyambut hangat kebisuan itu, seolah itu adalah hal terbaik di dunia. Dominasi Jared Assad tidak bisa mempenetrasi Rachel Helena.

"Sentuhan Anda berbeda, Jared," buka Rachel tiba-tiba.

"Bagaimana, Rachel?" tanya Jared, menghentikan mobilnya di lampu merah. Wanita di sampingnya selalu menghadangnya dengan topik-topik mengejutkan.

Rachel menoleh, berkata, "Saya menyukai sentuhan Anda."

Begitu mudah wanita itu mengatakannya, cenderung tidak niat. Tidak ada perbedaan di dalam tatapan wanita itu ketika ia memandangi orang yang ia baru saja puji atau ketika ia menonton sebuah klip yang membosankan. Jared jadi sulit mempercayainya, meskipun ia tahu istrinya yang nyaris tidak pernah berkata-kata itu jujur. 

"Anda menginginkan saya menyentuh Anda?"

"Tidak," sergah Rachel. "Saya menginginkan Anda menyentuh orang sakit yang mau sembuh. Saya rasa Anda memiliki karunia sentuhan. Sentuhan Anda menghibur orang, dan mereka yang mau sembuh akan dimampukan dengan sentuhan itu. Bisa dikatakan bahwa ketika saya mati nanti, Anda dapat dengan mudah mendapatkan hati seorang wanita karena sentuhan seperti itu."

Tangan bertato pria itu terjulur dan mengoper gigi. Jared kembali menjalankan mobilnya. "Terima kasih, Rachel. Saya pernah menyentuh banyak wanita, tetapi tidak ada yang memberikan testimoni membangun seperti itu."

"Mungkin mereka bukan orang sakit."

"Ya, saat itu saya yang sakit."

"Mungkin karena Anda sudah sembuh, jadi sentuhan itu terasa menyenangkan."

"Menurut Anda, saya sudah sembuh, Rachel?"

Tanpa pindaian berarti, Rachel menyimpulkan, "Saya tidak tahu riwayat Anda tapi Anda terlihat sehat."

Jared melirik Rachel tepat di matanya. Pria itu tersenyum kecil. "Puji Tuhan. Terakhir kali saya berurusan dengan wanita, dia bilang bahwa saya adalah pria sakit."

Rachel mulai berpikir bahwa pria yang ia nikahi mungkin betulan brengsek. Ia akan mengingat ini ketika waktunya sudah tiba nanti. Ia tidak hanya menikah, tetapi ia menikahi pria brengsek. Ibunya akan menggodanya habis-habisan soal ini. Seorang anak yang membenci pria dan pernikahan baru saja tunduk kepada keduanya.

"Saya bisa melihatnya," ujar Rachel. "Tapi sekarang Anda sudah sembuh. Anda memiliki kapasitasnya untuk menyembuhkan orang sakit."

Jared menoleh, mengirim lirikan yang membuat Rachel paham bahwa selanjutnya merupakan serangan personal kepadanya, "Tidak ada poin dari menyembuhkan orang sakit jika saya tidak bisa menyembuhkan istri saya sendiri. Tidakkah Anda berpikir demikian, Rachel?"

Rachel mengambil tangan Jared dan menggenggamnya. Jared tidak menduga gestur itu. Tadinya, pria itu hanya membiarkan istrinya melakukan itu, tetapi kemudian ia mengeratkannya dan mengusapnya.

Rachel merasakan usapan itu. Dan begitu saja, ia merasakan semua itu lagi. Ia menatap pria yang menatap lurus ke depan itu, dalam-dalam. "Anda bisa menyembuhkan saya, Jared. Sentuhan dan usapan ini berbeda. Saya tahu Anda mengetahuinya. Seolah ada kuasa, ada sesuatu yang keluar dari dalam sini." Rachel menyentuh lengan bawah pria itu, mengusapnya, menciptakan elusan di atas gambar-gambar dan tulisan-tulisan di sana, di atas semua sakitnya.

Pengangan Jared Assad pada kemudinya berubah menjadi cengkeraman.

"Anda bisa menyembuhkan saya, Jared. Anda bisa. Tapi saya tidak mau." Rachel melepaskan pegangan itu.

Ia melepaskan semuanya. Semua yang dapat menyembuhkannya, yang bisa ia rasakan masuk melalui ujung-ujung jarinya, melalui pori-pori kulitnya, ke dalam setiap jaringan, ke dalam darah, ke dalam jantungnya yang kemudian memperbaiki organ-organnya yang rusak dan terpuruk.

Mudah menjadi sembuh bersama suaminya. Rachel menyadari hal itu. Sentuhan itu mengingatkannya kepada hal-hal baik, hal-hal yang Rachel inginkan dan ia tidak tahu masih dapat ditemukan. Kasih. Penerimaan. Pencarian. Pemulihan. Integritas. Semua yang baik yang berkenan kepada Allah dan kepadanya.

Karenanya, sentuhan itu menjadi berbahaya. Ia tidak mau bertahan di dunia yang ini. Ia tidak mau ditahan. Rachel Helena tidak akan sembuh karena ia tidak mau.

"Terima kasih sudah mengantar saya."

Mobil berhenti di pelataran parkir apartemen Rachel. Wanita itu melepaskan sabuk pengamannya.

"Sungguh sangat disayangkan bahwa orang pertama yang ingin saya sembuhkan, menolak untuk sembuh." Kalimat itu membuat Rachel menoleh, menatap suaminya.

"Tidak, Jared," bantah Rachel. "Sungguh sangat disayangkan bahwa saya adalah orang pertama yang ingin Anda sembuhkan."

Rachel masuk ke dalam apartemennya dengan sorot mata suaminya di dalam benaknya. Tatapan penuh penerimaan. Sejak dulu pria itu selalu begitu. Ia menerimanya. Dan tadi, Rachel mendapati bahwa suaminya menatapnya dengan penerimaan tingkat tinggi, bahwa Jared Assad akan mengusahakan dengan hidup dan matinya agar istrinya tetap hidup, tetapi, jika maut merampas wanita itu dari hidupnya, ia juga akan menerimanya dengan keikhlasan yang tidak kurang.

Langkah Rachel menjadi ringan mengetahui bahwa masih tidak ada cinta di dalam pernikahannya.

Tidak ada yang berduka ketika ia pergi. 

OOO

21/07/22

She who Keeps both Heaven and Hell OccupiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang