"Kamu bisa andelin aku, Ga. Inget sekarang kita gak punya siapa-siapa lagi. Aku cuma bisa andelin kamu dan kamu pun begitu."

Dirga menggumam tak jelas dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Alya. Kepala Dirga pening. Sejak kapan hidupnya berubah berantakan begini? Sekarang bahkan ia tidak bisa menginjakkan kaki di rumahnya sendiri.

Padahal apa yang Dirga lakukan hanyalah melindungi. Meskipun perlu ia akui bahwa tindakannya pada Qila memang keterlaluan. Ia tak bermaksud membentak adik kecilnya. Dirga kehilangan kontrol dan lepas kendali.

Namun, ia terlalu malu mengakuinya. Dirga takut jika maafnya tidak diterima karena sudah terlalu banyak mengecewakan Qila. Jadi, Dirga lebih memilih kabur dari semua masalahnya. Ia akan menghindar sampai hatinya siap untuk mendengar penolakan.

Ketakutan yang menyerang Dirga sangat kontradiktif dengan keinginannya untuk menemui dan memeluk Qila sekarang juga. Selama ini Dirga selalu bekerja keras agar bisa membawa Qila keluar dari rumah yang menyiksa jiwa dan mental adiknya.

Dirga belajar mati-matian agar bisa lulus dengan hasil memuaskan, agar bisa masuk perusahaan ternama dan mendapat gaji besar hingga bisa menghidupi Qila. Tapi semuanya menjadi kacau. Justru Dirga lah yang kini menjadi penyebab Qila hancur.

Maaf Qi...

"Don't leave me okay? I only have you, Al."

....

"Kenapa? Mau apa?"

"Badan lo pegel? Mau dipijitin?"

Daniel terus saja mengoceh dan merecoki kegiatan yang tengah Qila lakukan sedari tadi. Membuat Qila kesal setengah mati dan berkeinginan kuat untuk menggetok cangkang otaknya dengan keras.

Qila baru saja bangun tidur sejak pulang dari rumah sakit. Ia menghabiskan waktu lima jam beristirahat dan sekarang matanya sudah tidak bisa memejam sekeras apapun Qila berusaha.

Lebih baik ia mempersiapkan peralatan sekolah untuk besok. Siapa tahu begitu dibawa bergerak tubuhnya akan sedikit lelah dan ingin tidur lagi. TAPI ADA SATU MASALAH-

"Tugas sekolah? Sini gue bantu kerjain. Gue juga bisa ngerjain semua makalah lo, simpen aja di meja sana lanjut istirahat."

"Eits jangan main hape." Daniel merebut hape yang baru saja menyala di tangan Qila. "Kalau udah main hape yang ada lo lupa waktu."

Bola mata Qila memutar malas. "Aku bosen loh! Dari tadi kamu larang terus. Gak boleh ini gak boleh itu!"

"Badan lo masih capek abis kemo, kata Dokter Arini harus banyak istirahat, kan?"

"Ya tapi ini kebanyakan!" Qila mendengus. "Aku udah tidur dari sore sampe malam, Daniel!"

"Tidur lagi." Paksa Daniel sambil terus memegang kepala Qila agar tetap menyentuh bantal. "Tidur apa gue gigit?"

"IHHHHHHH." Kaki Qila menendang udara guna melampiaskan kesal. Meski begitu tak urung membuat Daniel bergerak dan membungkus badan Qila menjadi kepompong dengan balutan selimut. "ARGHHH GERAHHH DANIEEELLL."

"MAKANYA TIDUR NANTI BADAN LO SAKIT LAGI KALAU GK BANYAK ISTIRAHAT."

"TAPI PENGAPPP!!!! MATA AKU UDAH GAK BISA TIDUR MAUNYA MELEK!? NGERTI GAK SIH."

"GAK." Daniel tetap bersikukuh dan malah memeluk badan Qila dari samping tak peduli meski badan adiknya itu sudah menggeliat seperti cacing kepanasan.

"Daniel aku nangis nihhhhh!!!" ancam Qila.

"Nangis aja." Daniel malah semakin mengeratkan pelukannya. "Katanya orang kalo abis nangis tidurnya jadi pules."

BENAR-BENAR YA. Qila sudah kehabisan akal untuk membuat Daniel melepas pelukannya. Kalau seperti ini terus yang ada Qila malah kering duluan karena berkeringat banyak.

Paradise (Segera Terbit)Where stories live. Discover now