06. Si Kacamata

175 149 26
                                    

Kecanggungan terjadi hampir lima belas menit, sejak Fasha tidak sengaja melempar kacamata Dito, dan benda tersebut hancur tidak berbentuk setelah terinjak oleh seseorang, tepat beberapa detik setelah kacamata itu mendarat 7 meter dari posisi Fasha duduk.

Dito melirik Fasha yang duduk di sebelahnya. Pria itu justru balas menoleh ke arah lain, sambil menggaruk-garuk kepala, berpura-pura tidak menyadari tatapan menusuk Dito.

"La-langitnya cerah ya," gumam Fasha basa-basi. Pria itu masih enggan melihat ke arah Dito.

Tadinya, Dito dengan sangat percaya menitipkan kacamatanya pada Fasha karena hendak bermain bola.

Selain Fasha yang menggerutu tidak bisa ikut bermain karena cideranya, jam pelajaran olahraga berjalan lancar, sampai bola yang Dito dan yang lain mainkan menggelinding ke arah Fasha.

Siapa sangka, bukannya melempar kembali bola yang sudah ia pegang di tangan kanannya, Fasha justru melempar jauh kacamata Dito yang berada di tangan kirinya.

Itu kaca mata ketiga Dito di minggu ini, setelah satu lainnya dirusak oleh Damian dan satu lagi hilang ditelan bumi.

"Ma-mataharinya juga bagus." Untuk kedua kalinya Fasha berusaha memecah kecanggungan yang terjadi diantara mereka berdua.

Siapapun di lapangan indoor itu tau, selebat apa hujan di luar, belum lagi langit yang gelap dan petir yang menyambar membuat suasana semakin mencekam antara Fasha dan Dito. Sepertinya lelaki berkacamata mata itu sudah hilang akal sehat sejak melihat wajah marah Dito beberapa saat lalu.

"Basa-basi lo jelek banget, gue yang malu." celetuk salah seorang teman mereka sekaligus saksi mata kejadian tadi. Pria itu terkekeh melihat wajah takut Fasha.

Fasha hanya balas tertawa kecil. Kemudian melirik sekilas ke arah Dito yang masih menatapnya tajam.

Dengan sigap, Fasha memutar otak, mencari topik pembicaraan yang bisa membuat Dito bicara dan melupakan kekesalannya.

"Tadi sebelum gue ke sekolah ada kecelakaan tau, Dit." Pria itu mulai menggeser duduk sedikit demi sedikit, mundur jauh namun tetap menghadap ke arah Dito.

Tidak ada respon. Pria itu masih diam dalam posisinya.

"Kecelakaan parah gitu, rame banget."

Tidak putus asa, Fasha terus lanjut bercerita berharap Dito tertarik dan mau meresponnya.

"Kasian loh, mana banyak kendaraan yang kena dampaknya lagi."

Pokoknya, Fasha tidak boleh menyerah, hidup dan matinya dipertaruhkan disini. Ia tidak ingin seperti Damian yang nyaris kehilangan nyawa karena merusak kacamata Dito beberapa hari lalu.

"Nah, karena udah mau jam tujuh, gue langsung buru-buru ke sekolah. Jadi gue tinggalin tempat kecelakaannya buat kesini, tapi gue masih kebayang kecelakaan tadi, agak trauma gitu, apalagi kemarin gue habis jatoh juga kan, trus tangan gue juga agak tremor gitu tau, makanya jadi kurang fokus, lo paham kan Dit maksud gue?" bujuk Fasha.

Dito mengembuskan nafas pelan, kemudian mengusap wajahnya kasar. Fasha adalah tahta tertinggi baginya, tentu saja. Semua orang tau bagaimana Dito menomor satukan Fasha dalam segala hal. Dia tidak pernah tidak mengindahkan semua perkataan Fasha, asal tidak bersangkutan dengan kacamatanya, tentu saja.

Sebab, itu adalah atribut wajib bagi Dito, ia seperti kehilangan identitas jika tidak menggunakan kacamata, itu juga kacamata ketiga Dito di minggu ini, jika sang ayah sampai tau, bisa-bisa nyawanya ikut dilempar seperti kacamata barusan.

"Fash," panggilnya.

Dengan wajah girang, karena setelah sekian lama akhirnya Dito mengeluarkan suara, Fasha merespon secepat mungkin.

PrumessaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang