11. Diluar Perkiraan.

346 265 52
                                    

Fasha itu, entah dia yang terlalu pintar, atau teman-temannya memang bodoh. Bisa-bisanya mereka bolak-balik ke uks dengan berbagai macam alasan tidak berbobot, berharap Fasha akan percaya dengan itu. Padahal jelas-jelas mereka datang karena gadis cantik berambut panjang yang ikut membersihkan uks bersama Fasha.

Luikito, si atlet panahan berwajah cantik, satu-satunya atlet di sekolah mereka, tak heran kenapa banyak orang menggilai gadis tersebut.

Lelaki berkacamata itu menopang tangannya pada tangkai sapu yang sedari tadi ia gunakan untuk membersihkan uks, sebagai hukuman karena terlambat. Punggungnya Fasha sandarkan pada dinding.

Fasha menatap lurus pada teman-temannya yang berdiri di pintu masuk, ia tak berekspresi, lebih tepatnya, tak tau ekspresi apa lagi yang harus lelaki itu tunjukan.

Tadinya, Fasha percaya Damian memang benar-benar mendatanginya untuk meminjam baju olahraga, meski terasa aneh kenapa laki-laki itu repot-repot mencarinya untuk meminjam, padahal Fasha tak ada pelajaran olahraga dan laki-laki itu tau, cuman Fasha tak ambil pusing. Mungkin Damian panik, pikirnya.

Tak lama setelah kepergian Damian, Arifan datang bersama Melvin, hendak menawarkan Fasha makanan sebab ia tak bisa ke kantin karena harus mengerjakan hukumannya.

Dari sinilah keanehan itu muncul, sebab normalnya, Fasha mati kelaparan terkunci di kelas pun mereka tak akan peduli.

Tak berhenti disitu, mereka kembali lagi, kali ini dengan formasi lengkap, setelah sebelumnya masing-masing dari mereka, kecuali Dito, datang bergantian ke uks dengan alasan mencari obat.

"Loh, Mbak Lui masih di sini?" ujar Melvin tanpa malu, padahal akal bulusnya tergambar jelas dari wajah yang penuh senyum itu.

Yang dipanggil Lui itu balas tersenyum. "Kan hukumannya belum selesai," ujarnya.

Setelah kalimat itu berakhir, Lui melirik kearah Fasha, seolah menyampaikan ketidaknyamanannya lewat mata. Teman-teman Fasha benar-benar menganggunya sejak tadi.

"Mau nyari obat lagi?" Tanya Lui, nada menyindir terdengar sangat jelas dari kalimat tersebut.

Mereka balas menggeleng. "Tadi di suruh Fasha nganterin ini, ketinggalan di kelas." Damian menunjukkan ponsel Fasha pada gadis bertubuh tinggi itu.

"Idih," guman Fasha pelan. Bisa-bisanya, padahal itu adalah ponsel yang Fasha mintai tolong Melvin untuk memecahkan passwordnya.

Gadis cantik itu mengangguk sebagai jawaban, kemudian lanjut merapikan ruangan tersebut, agar hukumannya cepat selesai dan bisa kembali ke kelas. Laki-laki jurusan IPA benar-benar aneh, pikirnya.

"Woi Fash! Kerja napa, bisa-bisanya ngebiarin bidadari kerja sendirian." Arifan yang berdiri di samping Dito tak mau tinggal diam.

"Tau lo! Dasar lelaki pemalas!" ujar Damian, ia hendak melempar Fasha dengan popcorn yang dipegangnya, tapi urung, mengingat itu akan mengotori lantai dan menambah pekerjaan Lui.

"Lui, mau dibatuin aja ngga? Masih banyak kerjaan tuh kayanya. Pasti Fasha tadi ngga ikut kerja ya?" Melvin, yang berdiri paling depan mengulurkan tangannya, meminta Lui menyerahkan kemoceng yang ia pegang.

Melihat itu, Dito langsung memukul kepala Melvin dari belakang. Tidak ada yang boleh membantu siswa terlambat mengerjakan hukuman mereka.

Mau sekeras apa mereka bertiga memohon agar Dito mengizinkan mereka membantu gadis berparas cantik itu, Dito tetap menolak. Memberikan kelonggaran pada Fasha tadi pagi, tak berarti Dito akan selalu melanggar aturan jika itu untuk teman-temannya.

"Minimal tanya dulu lah, dia nyaman ngga kalian pada nangkring di sini," ujar Fasha saat menghampiri ketiga manusia yang entah kenapa tidak lelah berdiri di pintu dan menghadiahi banyak pertanyaan pada Lui.

PrumessaWhere stories live. Discover now