02. Si Pencinta Jam Pasir.

219 178 36
                                    

"Oh, jadi namanya Milky, ya?" tanya Fasha.

Mereka duduk di tangga dekat tempat pembakaran, cukup jauh untuk menghindari aroma tidak sedap yang dihasilkan oleh tumpukan sampah.

Aerin mengangguk, ia tersenyum kecil sembari mengelus bulu Milky, si kucing putih. Membuat jantung Fasha, yang menyaksikannya berdetak tidak karuan.

"Namanya lucu, pasti karna warna bulunya putih ya? Kaya susu," lanjut Fasha, ia menggerakkan jarinya, membuat Milky dengan lincah bermain-main dengan jemari tersebut.

"Iyaa."

"Aerin yang kasi nama?"

"Eh bukan, Casey yang kasi." Fasha mengangguk sebagai jawaban.

"Kayanya sekarang gue harus manggil dia Milky juga deh, soalnya kalo Susu, kedengaran agak aneh," jelas Fasha sambil tertawa kecil.

Yah, bagaimana tidak terdengar aneh, berbeda dengan alasan Aerin dan Casey memanggil kucing tersebut dengan nama Milky, Fasha justru memanggilnya Susu, karna saat itu ia kaget sekaligus heran melihat seekor anak kucing memiliki jumlah susu yang banyak.

Awalnya Fasha pikir kucing hanya punya empat buah susu, tapi karena permainan dokter-dokternya dengan Dito waktu itu, membuat Fasha tau saat memeriksa Milky. Karena alasan itulah Fasha memanggilnya dengan nama Susu.

Aerin menoleh pada Fasha yang saat ini sedang tertawa. Gadis itu tersenyum sembari mengangguk menanggapi cerita Fasha.

"Aerin udah lama disini?" tanya Fasha lagi.

Pria itu benar-benar berusaha membangun pembicaraan.

"Lumayan, sekitar tiga puluh menit-an," jelas Aerin yang diakhiri senyuman kecil.

Dari dulu Fasha selalu bertanya-tanya, kenapa Aerin selalu tersenyum saat berbicara. Apa karena gadis itu suka tersenyum? Atau Aerin melakukannya saat merasa canggung dan tidak nyaman dengan lawan bicaranya?

Fasha masih tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan tersebut.

"Buang sampah juga?"

"Oh, bukan, tadinya ngejar Milky." Fasha mengangguk lagi, sambil bergumam, mengiyakan penjelasan Aerin.

"Oalaa, gue sih tadi mau buang sampah, nyari-nyari tempat sampah di mana-mana ngga ada."

Fasha memainkan pita pengikat kado di tangannya. Jauh dari lubuk hatinya Fasha mati-matian menahan diri agar tidak menyerahkan kado tersebut pada Aerin.

Selama ini, Fasha selalu menitipkan pemberiannya untuk Aerin pada orang lain. Mungkin kali terakhir ia memberikan sesuatu secara langsung sudah hampir satu tahun lalu. Ia takut gadis itu akan merasa tidak nyaman dengannya.

"Taunya, sekarang hari tanpa sampah, pantes tempat sampah pada ngilang semua," lanjut Fasha yang diangguki Aerin.

Gadis itu melirik kado di tangan Fasha. Ia bertanya-tanya apakah benda itu yang hendak dibuang? Pasalnya Aerin tidak melihat Fasha membawa benda lain selain kado tersebut.

Fasha yang menyadari itu, menunjukkan kado di tangannya pada Aerin.

"Penasaran ya?" Tanyanya.

Dengan sigap, Aerin mengangguk.

"Ini tadinya mau gue kasi ke orang, cuman ga jadi," jelas Fasha sambil tersenyum getir.

Dalam hati ia ingin berteriak bahwa orang yang dimaksud adalah Aerin. Tapi mustahil, jika Aerin bisa mendengar suara hati Fasha mungkin ia akan kabur saking kerasnya suara tersebut.

"Trus sekarang mau dibuang deh," lanjut Fasha.

Dahi Aerin berkerut. Ia bingung kenapa benda yang terlihat bagus seperti itu harus dibuang? Aerin tidak tau isi kotak tersebut apa, tapi dilihat dari kertas kado yang membalutnya, serta pita yang diikat semenarik mungkin, benda itu pasti berharga.

PrumessaWhere stories live. Discover now