03. Halte Dan Senja.

199 173 33
                                    

Pukul 18.00, rasanya suara ketukan yang dihasilkan jam tangan itu terdengar makin cepat, mungkin pengaruh hari yang mulai gelap dan semakin gelap dengan awan hitam yang bergerak cepat menutupi langit. Tidak lama lagi hujan akan turun, suhu udara juga mulai menurun.

Ck....

Terdengar decakan kesekian kalinya dari pria berkacamata yang sedang duduk di halte bus itu. Angin yang berhembus kencang membuat ia sesekali mengigil kedinginan.

Sambil menutup mata, ia melipat kedua tangannya di dada, duduk bersila sembari bersandar dengan kepala menghadap langit-langit halte, berharap bisa memperoleh sedikit rasa hangat.

Fasha benar-benar merasa kacau hari ini. Ia juga tidak tau kenapa dirinya memilih duduk di halte bus tepat di depan sekolah.

Jika ia ingin kabur, itu tempat yang paling tidak strategis, sekalipun ia ingin menyendiri, itu juga bukan tempat yang bagus. Para sopir bus yang datang bahkan sesekali membunyikan klakson saat melihat Fasha.

Mereka pikir, ia salah satu penumpang yang tidak sengaja tertidur sembari menunggu bus datang.

Tiga jam berlalu sejak sekolah berakhir, gerbangnya bahkan sudah dikunci. Mungkin hanya Fasha, dan seseorang di sampingnya, yang saat ini masih bertahan di halte tersebut.

Kalau Fasha tidak salah, bus terakhir baru saja lewat beberapa menit yang lalu. Ia juga tak tau kenapa orang di sebelahnya tidak menaiki bus tersebut.

Mengingat sosok itu sudah duduk di sana sekitar dua jam, mustahil rasanya jika ia terlewat bus yang hendak dinaikinya. Sekalipun terlewat, bus dengan tujuan yang sama harusnya sudah lewat 4 hingga 6 kali dalam jangka waktu tersebut.

Entah apa yang sosok di sebelahnya lakukan sejak tadi, Fasha sama sekali tidak mengetahuinya. Sepanjang waktu, pria tersebut hanya menutup mata, mendengar bisingnya jalanan yang semakin lama semakin hening, hingga hanya menyisakan suara nafas mereka berdua.

Fasha tebak, mungkin saja orang tersebut juga sedang mengalami hari yang buruk sama seperti dirinya. Itu sebabnya, mereka seperti dua orang bodoh yang sedang merenungi nasib.

Perlahan, Fasha membuka matanya, menyesuaikan indra pengelihatan tersebut dengan lampu halte yang berada tepat di depan wajahnya.

Setelah membuka mata, Fasha menoleh ke samping, dimana seorang gadis dengan rambut panjang duduk dengan mata tertutup.

Gadis itu mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Fasha, yah itu sudah pasti, pasalnya halte tersebut berada tepat di depan sekolah mereka.

Fasha melirik dasi biru yang terpasang pada leher gadis tersebut. Itu lambang jurusan bahasa, berbeda dengan dasi hitam Fasha yang menandakan jurusan IPA.

"Ketiduran ya?" gumam Fasha.

Tadinya, Fasha pikir duduk sendirian dan mengabaikan sekitar akan membuat perasaannya lebih baik. Nyatanya, sedari tadi ia disana bersama gadis tersebut, rasanya tidak buruk juga.

Gadis itu hanya diam, dia tidak bertanya, mereka bahkan tidak saling bicara, mengenal satu sama lain apa lagi, tapi keberadaannya cukup membantu bagi Fasha.

Setidaknya... pria itu tidak merasa sendirian.

Fasha memperbaiki posisi kacamatanya, kemudian melirik nama yang tertulis pada sebuah buku yang sedang gadis itu peluk di atas pahanya.

"Aerin...."

••••••

"Aerin, ya?" Pria itu menghembuskan nafas panjang.

Fasha tak habis pikir, halte yang sama dan gaya duduk yang sama. Lagi dan lagi ia kembali ke sini.

Sepertinya tubuh Fasha secara otomatis bergerak ke sini saat suasana hatinya buruk. Pria itu bahkan lupa, ia meninggalkan kendaraannya sendiri di tempat parkir, dan berjalan ke sini setelah bel pulang berbunyi.

PrumessaWhere stories live. Discover now