05. Per-aktingan.

184 160 22
                                    

Lagi-lagi, Aerin di sana. Kali ini gadis itu sendirian. Sudah yang kesekian kali dan Fasha masih tidak bisa menyimpulkan apapun, ia masih tak punya jawaban apapun, bertanya juga tak berani.

Tidak tergabung dalam klub basket, membuat Fasha ragu Aerin sering duduk di sekitar lapangan basket saat ada yang bermain, karena gadis itu memiliki minat pada olahraga tersebut.

Orang yang bermain di lapangan basket pun selalu berbeda, sehingga Fasha juga tak bisa menemukan titik terang sebenarnya siapa yang hendak Aerin perhatikan di sana.

Dan kali ini, Aerin lagi dan lagi duduk di sana, di tempat yang sama tentu saja, tribun bagian sudut lapangan basket tersebut. Sudah beberapa menit sejak Fasha menyadari Aerin di sana, dan gadis itu tak berniat pergi meski sedikit demi sedikit rintik hujan mulai turun.

Sebenarnya apa yang ada di pikiran Aerin saat ini? Laki-laki itu benar-benar tak pernah bisa menebaknya. Padahal lapangan basket kosong, tidak seorang pun ada di sana sejak tadi. Tapi Aerin tidak sedikitpun terlihat ingin pergi.

"Ngga adil banget, harusnya kan yang kelihatan galau gue." Fasha bergumam, matanya tak lepas dari sosok gadis berambut pendek itu.

Sejak tau Aerin sering kali duduk di sekitar lapangan basket saat ada yang bermain, Fasha ingat bagaimana dulu dirinya beberapa kali memaksakan diri untuk ikut bermain hanya karena ingin diperhatikan gadis tersebut, padahal Fasha tak pandai dalam olahraga basket, hanya karena Fasha tinggi orang-orang tak mempermasalahkan permainan buruknya.

Hingga akhirnya, Fasha memilih ikut membaur diantara tribun penonton saja, mengambil duduk cukup dekat dengan posisi Aerin, sebab ia sadar ketidakpandaiannya bermain basket mungkin saja membuat Aerin ilfeel. Dan lagi dibanding diperhatikan Aerin, Fasha lebih suka memperhatikan gadis tersebut, jadi ia tak ingin kehilangan kesempatan.

"Lagian hujan-hujanan enaknya apa coba, bikin sakit," gumamnya lagi.

Sepertinya laki-laki itu lupa, posisinya yang duduk di rooftop tak membuat Fasha terlindungi dari rintik hujan. Ia bahkan bisa merasakan angin berhembus kencang dari atas sana, yang pasti tak Aerin rasakan karena posisinya di bawah dan terdapat cukup banyak pepohonan di sana untuk menghalangi hembusan angin.

Tidak berbeda dengan Aerin, Fasha juga seolah tak berniat pergi dari sana, setidaknya sampai ia melihat Aerin pergi lebih dulu.

Tak ada yang istimewa dari tindakannya, pikir Fasha. Sebab jika ia yang dulu akan segera berlari menghampiri Aerin untuk memintanya berteduh atau menemani gadis itu agar tak sendirian. Fasha yang sekarang tidak lagi menghampiri, tidak akan.

Ia hanya akan memperhatikan dan menemani Aerin dari jauh, atas dasar kemanusiaan.

Andai itu orang lain, dan bukan Aerin apakah Fasha masih akan duduk memperhatikan dengan dasar kemanusiaan? Entahlah.

Fasha merogoh sakunya, mengambil permen yang ia terima tadi. Entah dari siapa itu, Fasha tak peduli lagi, ia akan tetap memakannya dari pada mubazir.

Padahal tadi niatnya ke rooftop setelah diamuk Melvin di kantin untuk melarikan diri dari pelajaran olahraga, karena kaki Fasha terluka, percuma juga ia ikut. Tapi justru Aerin yang tengah berdiam diri di pinggir lapangan basket lah yang Fasha dapati.

Gadis itu duduk berdiam diri, menatap ke arah lapangan, dan sesekali beralih melihat langit, membiarkan tetes hujan membasahi wajah cantiknya.

Aerin itu benar-benar indah, mau Fasha lihat berapa kalipun ia tak akan pernah bosan. Aerinnya sangat cantik.

"Dia udah makan belum ya?" gumam Fasha.

Ia melirik jam yang melingkar di tangannya, masih jam istirahat, Fasha harap sebelum duduk di sana Aerin sudah lebih dulu mengisi tenaganya.

PrumessaWhere stories live. Discover now