09. Rafasha.

160 139 20
                                    

Fasha benar-benar kalah telak, mau bagaimana ia menolak, fakta bahwa Aerin sudah menguasai keseluruhan dirinya tak bisa di tepis dengan apapun.

Ini tak berarti karena baru tiga hari sejak ia berhenti mengejar Aerin-nya, sebab jauh sebelum ini berkali-kali Fasha telah mencoba menyingkirkan gadis itu dari pikirannya dan ia tak pernah berhasil.

Aerin itu seolah dapat dengan mudah mengambil alih kesadaran Fasha tanpa usaha apapun. Dan Fasha mulai benci itu, ia tak tau kenapa ia tidak bis a mengendalikan dirinya sendiri.

Seakan ia hanyalah cangkang kosong dengan Aerin yang mengatur Fasha seutuhnya.

Dia, benar-benar sudah rusak.

Fasha meneguk minuman di tangannya, menikmati bagaimana dingin air es itu turun melewati kerongkongannya.

Sepertinya teori dark chocolate dapat membantu mengurangi stres dan panik ada benarnya. Ia jadi sedikit lebih tenang sekarang, lebih tepatnya rasa dari minuman itulah yang mengambil alih fokusnya. Fasha jadi tak ingat pada kegelisahan yang tadi sempat menghantuinya.

Mungkin satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan hari ini adalah 'gila'. hari ini benar-benar terasa sangat gila bagi Fasha, mereka harus berangkat subuh untuk melakukan perjalanan luar kota lebih kurang 3 jam untuk sampai di lokasi perlombaan.

Setelah tiga babak ia lewati seperti orang kesetanan, Fasha masih harus mengikuti babak final satu jam lagi. Tidak peduli soalnya sulit atau tidak, fisika tetap perlu fokus.

Untuk mempertahankan fokusnya saja energi Fasha hampir di babat habis. Laki-laki itu benar-benar menyesal setuju untuk menemani Valerie menonton gladi resik pementasan teater di aula.

Atau lebih tepatnya Fasha menyesal tidak tau lebih cepat bahwa Aerin adalah bagian dari orang-orang yang berkecimpung dalam permainan sandiwara.

Suara, dialog, bahkan ekspresi Aerin kemarin terus berputar dikepala Fasha. Soal-soal olimpiade-nya jadi kehilangan tempat untuk di proses otak Fasha.

Laki-laki itu nyaris melakukan kesalahan, dan gagal menyelesaikan soal ditangannya.

Bersyukur ia berhasil lolos ke babak final, kalau tidak? Fasha akan benar-benar mengutuk kebodohannya yang tak pernah bisa melepaskan diri dari Aerin.

Fasha merebahkan tubuhnya di atas kursi, menatap langit-langit koridor kampus, tempat diselenggarakannya perlombaan.

Ini adalah kampus impian Fasha, dan juga tempat sang bunda mengambil gelar S3-nya dulu. Fasha tidak percaya bagaimana ia membiarkan Aerin mengacaukan dirinya lagi, padahal olimpiade kali ini sekaligus menjadi peluang Fasha untuk lulus di kampus ini, tapi ia tetap kecolongan oleh dirinya sendiri yang membiarkan Aerin memenuhi kepalanya.

"Apa gue jalan-jalan lagi aja ya?" Gumam Fasha, laki-laki itu melirik jam yang melingkar di tangannya. Masih lama hingga babak final dimulai, jadi Fasha masih punya waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.

Beberapa menit disana benar-benar terasa sangat membosankan bagi Fasha.

"Begong di sini bukannya refreshing, malah ngegalauin Aerin," lanjutnya. Fasha mengubah posisinya menjadi duduk, merapikan pakaiannya, kemudian berdiri, hendak berkeliling.

Entah kemana kakinya akan membawa Fasha, ia tak tau, yang penting ia bergerak guna mengusir Aerin dari pikirannya.

Kampus tersebut benar-benar besar, tempat Fasha saat ini baru satu gedung Fakultas, kalau Fasha bisa berkeliling ke seluruh Fakultas pasti akan menyenangkan. Ia benar-benar ingin menjadi bagian dari kampus bergengsi tersebut.

Sebelum lanjut berjalan, Fasha menyeruput kembali minuman di tangannya, kemudian bergegas menuju lift, ia hendak naik ke lantai yang lebih tinggi, pemandangan di sana pasti lebih bagus.

PrumessaWhere stories live. Discover now