9| Sekotak Bekal

71 47 35
                                    

Bel berdering dengan keras. Siswa maupun siswi berjalan keluar meninggalkan kelas mereka satu persatu. Begitu pun Shafina yang saat ini tengah menggendong tas miliknya dengan sekotak bekal yang masih utuh tak tersentuh itu di tangannya.

"Sha pulang di jemput?, gue ikut ya"

Suara Aulia yang datang secara tiba-tiba itu sontak mengehentikan langkahnya.

"Iya"

Shafina mengalihkan pengelihatannya dari yang sebelumnya menatap Aulia, kini gadis itu beralih menatap tong sampah di hadapannya.

"Lo mau ngapain?"

Tangan Aulia memegang erat tangan miliknya yang hendak akan membuang kotak bekal berwarna hijau tosca itu ke tong sampah.

"Sha kenapa lo buang, mubazir itu sha"

Namun sayangnya ucapan Aulia tidak di dengarkan oleh gadis yang saat ini tengah membuka penutup tong sampah itu. Sementara di sisi lain, sang empu yang tidak sengaja mendengar pembicaraan dari dua orang gadis itu secara tiba-tiba merasakan rasa nyeri yang menusuk dadanya. Kini, pikiran laki-laki itu berkecamuk banyak pertanyaan.

Apa mungkin Shafina tidak suka dengan apa yang gue masak?. Batinnya.

"Shafina lo gak kasian sama Thareq, lo gak denger apa yang dia bilang tadi pagi?. Dia buatin bekal ini buat lo sha, setidaknya lo hargai usaha dia"

"Gue gak suka telur"

Terjawab sudah pertanyaan Thareq tadi. Shafina memang tidak menyukai apa yang dia masak. Pasalnya tadi pagi, Thareq terburu-buru pergi ke sekolah karena sudah mulai siang, dia takut jika terlambat. Tetapi laki-laki itu malah membuatkan bekal untuk Shafina, padahal jam dindingnya sudah menunjukkan pukul 06.40 WIB itu artinya 20 menit lagi gerbang sekolah akan di tutup namun dia malah menghiraukannya. Dan semua ini terjadi gara-gara Raynald, sepupunya itu menyarankan untuk memberikan bekal sebagai bentuk usaha untuk mendapatkan hati gadis berkepala batu itu.

"Ya seenggaknya gak usah di buang juga"

"Aulia ini bukan urusan lo"

Namun Aulia tidak mendengarkan ucapan Shafina. Gadis itu segera mengambil kotak bekal yang berada di genggaman Shafina sebelum gadis itu membuangnya.

"Kalo lo gak suka. gak usah di buang, balikin aja ke orangnya"

Aulia, gadis itu sangat menghargai makanan dalam bentuk sekecil apapun. Karena kehidupannya sederhana, alhasil gadis itu sangat mengerti bagaimana susahnya mencari makan. Untuk bisa makan 3 kali sehari saja, ibu dan ayahnya harus banting tulang sampai lembur untuk menghidupinya dan membayar biaya sekolahnya. Karena pernah merasakan berada di titik terendah dan mengalami sesulit itu untuk mendapatkan sesuap nasi. Sehingga akhirnya membuat dirinya menjadi sosok gadis yang tangguh karena keadaan ekonomi keluarganya.

"Lo mau bawa kotak bekal itu ke mana?"

"mau gue makan"

Aulia berlari meninggalkan Shafina yang tengah menatap kepergiannya dari belakang. Sementara di sisi lain, Thareq laki-laki itu sudah pergi dari sana sedari tadi.

Dengan langkah terpaksa, Shafina pergi dari sana mengejar kepergian Aulia. Hingga akhirnya Shafina melihat gadis itu. Namun dia tidak mendapati Aulia seorang diri, melainkan kini gadis itu tengah bersama seorang laki-laki yang tengah duduk di kursi roda. Dari kejauhan, Shafina melihat Aulia tengah mengedarkan pandangannya seperti tengah mencari seseorang hingga akhirnya gadis itu melihat kearahnya.

"Shafina gue duluan ya"

Aulia melambaikan tangan ke arahnya. Di susul oleh teriakan gadis itu yang nyaring sehingga menarik perhatian beberapa siswa dan siswi yang kebetulan berada di sana itu kini menghentikan sejenak aktivitasnya dan mengalihkan pandangannya kepadanya.

"I-iya"

Shafina yang spontan menundukkan kepalanya karena merasa malu menjadi pusat perhatian orang-orang. Hingga akhirnya, Aulia pergi menumpangi mobil milik laki-laki yang tadi bersamanya.

"Hai, jangan melamun"

Thareq, laki-laki itu memang selalu datang secara tiba-tiba. Dengan senyum tipisnya yang manis masih menjadi ciri khas laki-laki itu ketika bertemu sang pujaan hati. Walau pun hati mungilnya saat ini sedikit teriris, karena untuk pertama kalinya ada yang berniat membuang bekal darinya padahal sebelumnya dia lah yang sering melakukan itu. Apa mungkin itu karma pada apa yang sebelumnya dia perbuat semasa di sekolah lamanya?

Sementara reaksi berbeda di tunjukan oleh Shafina. Seperti biasa, gadis itu selalu menatap Thareq dengan raut wajah datar beserta tatapan mata tajamnya.

"Emm langitnya cerah ya?"

Thareq mencoba mencairkan suasana.

"Cerah apaan, mendung kaya gini"

"Oh salah ya"

"Minimal lihat langit lah"

Thareq hanya cengengesan menampilkan deretan giginya yang putih berjajar rapi. Sedangkan tangannya dia gunakan untuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Pulang di jemput atau mau di antar?"

"Jemput"

Sedikit demi sedikit tetesan air dari langit itu kini mulai membasahi seragam putih abu milik dua orang remaja yang berbeda jenis kelamin. Keduanya menjadi panik ketika gerimis yang semakin membesar ini datang secara tiba-tiba.

"Shafina ayo berteduh di sini"

Thareq mengajak gadis itu untuk berteduh di salah satu warung yang berada di depan sekolahnya. Warung yang menjajakan berbagai makanan ringan serta minuman itu kini di tempati oleh keduanya untuk menunggu hujannya reda.

"Bu coklat panas dua"

"Siap"

Sementara hujan kini semakin deras mengguyur kota, membasahi para pengendara motor yang menerobos derasnya butiran air yang turun dari langit. Namun kini tidak hanya hujan saja yang datang, tetapi di susul oleh suara petir dan gemuruh guntur yang seakan bersahutan. Menambah suasana mencekam dan rasa dingin yang seolah menusuk tulang.

Begitu pun Shafina, gadis itu menggenggam erat seragam sekolahnya yang sebagian basah terkena air hujan. Shafina, gadis itu menunggu bapaknya yang sejak tadi tidak menerima panggilan teleponnya.

"Nih"

Sedangkan Thareq, tangan laki-laki itu bergerak memakaikan jaket berwarna hijau tuanya kepada Shafina yang saat ini tengah menatapnya lekat dari jarak yang dekat.

"Biar gue aja"

Shafina segera menjauh dari laki-laki itu lalu membenarkan jaket milik Thareq yang barusan laki-laki itu pinjamkan padanya.

"Silahkan di minum"

Wanita paruh baya itu meletakkan dua cangkir coklat panas di atas meja.
Sedangkan secangkir coklat itu segera di minum oleh Shafina agar menghangatkan tubuhnya yang saat ini tengah kedinginan.

"Ini bu uangnya"

Thareq segera menyerahkan selembar uang kertas berwarna hijau kepada wanita paruh baya itu.

"Makasih"

Ucap wanita paruh baya yang sepertinya hampir sebaya dengan ibunya.

Tid..

Suara klakson mobil sontak mengalihkan perhatian keduanya.
Shafina yang mengenali mobil milik bapaknya segera melepaskan jaket milik laki-laki yang tengah duduk di sebelahnya. Gadis itu segera memberikan jaket tersebut ke pemiliknya.

"Makasih"

Ucapnya dengan senyuman manis. Lalu gadis itu pergi dari warung tersebut. Meninggalkan laki-laki yang saat ini tertegun menatap ke arahnya dengan detak jantung yang berdebar kencang.

Tak lama kemudian, mobil yang di tumpangi gadis itu segera pergi. Membelah jalanan kota yang tergenangi air hujan. Namun tanpa Thareq sadari, gadis itu masih melihat kearahnya lewat kaca mobil yang di penuhi butiran air hujan.

ThareqWhere stories live. Discover now