Bab. 08

153 62 14
                                    

Tampan. Satu kata terangkum menggambarkan calon suami teman usai melihat foto di ponsel Jena yang didapatkan dari screenshot unggahan status aplikasi hijau milik calon Ibu mertua. Walaupun bagi Jessi sendiri masih tampan Mas Kai yang seksi manis tampan menggoda.

"Memang dia menantu idaman orang tua atau memang mereka pengin lo segera nikah? Tiba-tiba banget jodohin anak."

Beginilah Jessi, terlihat heboh di aplikasi chat yang terus memberi deretan pertanyaan. Pagi ini mimik wajah wanita berambut sebahu ini serius drastis, berbeda lagi kalau membahas para bias, langsung heboh lagi seperti dua orang berbeda dalam satu tubuh.

Itu adalah pertanyaan sama yang diajukan tadi malam dan malam-malam sebelumnya yang belum sempat Jena ceritakan. Pucuknya saja memberitahu teman ia akan dijodohkan. Sumpah! Jessi pikir temannya rela hati dijodohkan, ternyata masih dalam mode berpikir belum diputuskan.

Di grup WhatsApp khusus mereka bertiga. Beranggota Jena, Jessi dan Erlin membahas lebih lanjut di sana. Jessi yang tahu lebih dulu tidak begitu terkejut seperti Erlin yang langsung ingin bicara langsung lewat tatap muka di kafe. Tapi seperti yang terlihat, Erlin belum kelihatan batang hidungnya sejak lima menit mereka duduk.

Sebelum menjawab pesanan mereka datang, dua gelas vanilla latte tertata rapi di meja. "Aku sudah dijodohkan sedari smp," jawab Jena usai pelayan wanita berlalu.

Bola mata si sipit memelotot, mengerjap kian detik barulah alis tebal memusat ke jidat. "Dari smp? Serius?"

Anggukan lemah wanita pipi chubby itu dapatkan, otak masih mencerna baik-baik ungkapan barusan. "Tahu begini kenapa menerima banyak lamaran jika endingnya sudah dijodohkan? Tidak habis pikir juga anak remaja bisa berpikir demikian. Lahir juga belum itu anak, sudah mau dijodohkan!"

Yah, tadi malam sesuai informasi narasumber mereka dijodohkan karena plot twist nya salah satu orang tua adalah teman lama, ingin mempererat rasa kekeluargaan dengan menjodohkan, dan lagi kedua pihak sama-sama pantas membangun rumah tangga. Namun, pernyataan sudah dijodohkan sedari smp baru ia dengar barusan, antara kaget dan tak habis pikir.

Jessi mendekatkan minuman, mengaduk pelan lalu menyeruput sampai tiga tegukan, alis bertaut menunggu jawaban lawan bicara setelahnya meletakan gelas di atas meja.

"Aku juga baru tahu, malam itu Ayah tiba-tiba bilang aku mau dijodohkan. Ibu sendiri baru tahu malam itu, sama terkejutnya kami sama-sama menolak pada awalnya." Jena mengaduk vanilla latte, minuman kesukaan terasa hilang selera lantaran membahas perjodohan. Helaan napas keluar sebelum melanjutkan, "Alasan Ayah terima lamaran, katanya memberi kesempatan buat aku memilih di antara mereka walau nyatanya tidak ada satu pun pria yang aku suka."

Lawan bicara mengelus-elus dagu dengan jempol dan telunjuk berpikir dalam. Semua tampak mendesak, terlebih tadi malam teman bilang harus menerima perjodohan ini padahal sebelumnya memberi kebebasan dalam memilih. Aneh bukan? Tapi biarlah tak mau ambil pusing.

"Kalau merasa terpaksa, nggak usah dilanjut! Ini pernikahan, komitmen seumur hidup. Yang saling cinta saja merasa berat apalagi menikah tanpa adanya rasa!"

Jena diam sejenak, itu benar! Hati membenarkan. Tapi apa mau dikata, ia harus menerima daripada hati merasa tak tenang menolak tawaran hati lawan jenis lagi. Hembusan napas keluar dari hidung mancungnya. "Tidak sepenuhnya terpaksa, siapa tahu setelah enam bulan perkenalan aku suka. Iya kan?"

TAUTWhere stories live. Discover now