Bab. 15

84 28 8
                                    

Minggu pagi Jeha kedatangan tamu, yaitu orang tuanya sendiri. Sekitar beberapa bulan mereka tak saling tatap pun tak saling sapa secara langsung, hanya lewat media sosial sang Ibu sering menanyakan kabar anak.

"Ibu kangen kamu, gimana kabar? Sehat?" tanya wanita paruh baya yang baru saja melepas pelukan hangat bercampur kerinduan menjadi satu.

Jeha mengulum senyum hangat, sering diperlakukan akrab oleh Ibu tapi sisi emosionalnya belum merasa terikat, ada relung hati kosong seolah ia harus terus mencarinya. "Sehat, Ibu sendiri gimana?"

"Seperti yang kamu lihat, sehat dan ceria." Wanita itu terkekeh pelan mengisi ruang tamu kontrakan si anak. Jeha pun tersenyum merespon sang Ibu.

"Sudah sarapan?"

Si anak mengangguk sebagai jawaban, pun Jeha bertanya pada kedua orang tuanya apa sudah sarapan, dan hanya Ibu yang menjawab lantaran pria gagah duduk mandiri di sofa lebih fokus pada ponsel di genggamannya. Sedari awal pria itu tak antusias mengobrol pun dalam hati tidak mau menemui putri keduanya jika sang istri tidak memintanya kemari.

Jeha yang duduk satu sofa dengan sang Ibu berdiri sambil berujar, "kalau gitu, Jeha buatkan min——"

"Nggak usah, kami hanya sebentar di sini!" Suara bariton kepala keluarga menghentikan tawaran Jeha. Menatap si Ayah memasang wajah datar nan tegas.

Melihat anggukan dari Ibu membuat Jeha kembali duduk dengan pandangan tak lekang dari Ayah. Aura dingin nan tajam mendominasi pria yang tak muda lagi namun masih terlihat gagah dan maskulin.

"Terimakasih sebelumnya nak. Tapi, Ibu boleh min——"

"Nggak usah! Jangan pernah lagi meminta anak bodoh ini pulang. Saya nggak sudi tinggal satu atap dengannya!"

Tanpa perlu dijabarkan secara gamblang, pria itu sudah tahu jika sang istri meminta anak keduanya ini untuk pulang.

Ada duri tajam tepat menancap di relung hati, sakit dan terasa nyeri mendengar pernyataan Ayah. Tidak! Seharunya Jeha sudah terbiasa mendengar ucapan pedas dari Ayah, benar. Ini adalah makanan sehari-hari bila ia tinggal serumah dengan Ayah.

"Bisa, nggak usah memancing emosi saya? Jeha adalah anak kita, tanggung jawab kita berdua dan nggak sepantasnya kamu sebagai Ayah berujar demikian!" Sang istri berkata tegas, memelotot tajam ke arah suami lalu berganti memasang wajah ke ibuan pada Jeha. "Jangan masukan hati ucapan Ayah, kapanpun rumah akan selalu terbuka untuk kamu."

Wanita itu mengelus lengan putrinya lembut. Walaupun mereka tidak terlalu dekat atau lebih tepatnya si anak membatasi ikatan emosional mereka, tapi tak apa karena Ibunda akan selalu menyayangi putri-putrinya secara tulus.

"Langsung saja ke inti alasan datang kemari, nggak usah banyak mengulur waktu!" ujar kepala keluarga, waktu sangat disayangkan jika dihabiskan untuk basa-basi tidak jelas bersama anak bodohnya ini.

Bukan hanya bodoh, tidak berguna dan bisanya cuma menyusahkan orang tua. Tahu sendiri pekerjaan anak ini adalah penyanyi kafe tidak jelas! Lihatlah sekarang, pekerjaan yang dibilang passion tidak ada kemajuan dan dipastikan nihil dana pensiun, mau menabung pun pasti sulit lantaran zaman sekarang apa-apa mahal. Sudah diprediksi masa depan anak tolol ini akan suram.

Salah sendiri. Ayah meminta Jeha kuliah kedokteran tapi tak pernah serius, nilai berangsur turun, tugas-tugas tidak beres, kalau praktik sering pingsan——alasannya takut pada darah——, dan sungguh dirinya sangat malu pada kelakukan anak sendiri, terlebih sang dosen adalah teman karibnya.

Alhasil terpaksa si Ayah mengeluarkan Jeha dari fakultas kedokteran daripada uangnya mubazir untuk biaya anak tololnya. Membiarkan Jeha memilih jenjang karier sendiri sebagai penyanyi tidak jelas penghasilannya.

TAUT | Kim Mingyu✓Where stories live. Discover now