Indira mengangguk, sepenuhnya mengerti.

Mereka pamit sebelum malam terlalu larut. Berhasil lolos dari bujukan Tante Elma untuk menginap saja.

"Tuhan kasih aku kesempatan kedua lewat kamu."

Seperti kalimat ajaib Indira lainnya, Arsad sudah mendengar ini yang kelima atau ... enam? Entah dia tidak yakin jumlah pastinya.

Setiap hari selalu ada satu kalimat manis dari Indira. Kadang ketika mereka baru membuka mata, ketika di meja makan, atau seperti sekarang di tengah kemacetan. Awalnya dia pikir hanya karena perempuan itu sedang jatuh cinta, ternyata sudah menjadi kebiasaannya.

Arsad tidak percaya orang bisa jatuh cinta setiap hari. Terlalu naif. Yang ada hanya terbiasa atau ... terpaksa.

Seperti yang sedang dia jalani saat ini dan beberapa waktu kedepan. Dia belum merencanakan apa pun. Masih terlalu dini, bukan? Biarkan perempuan di sebelahnya ini merasa bahagia.

"Aku manusia biasa, bukan malaikat. Bisa berhenti ngomongin sesuatu yang kedengaran aneh?"

"Makasih pujiannya."

"Itu bukan pujian." Arsad memejamkan mata. "Kamu ... oke, terserah. Lakuin apa pun yang kamu mau." Dia hanya ingin menghadapi macet dengan tenang, bukan membuka sesi argumentasi dengan Indira. Walau tanpa tarik urat tapi tetap saja melelahkan. Perempuan ini selalu punya cara agar komunikasi terus berjalan dua arah.

"Nggak cuma aku, Tante Elma juga, 'kan?"

"Kalian sama saja."

Selain mobil-mobil yang terjebak di sekitarnya, Indira menikmati pemandangan Arsad yang mulai sebal. "Mungkin karena kami sama-sama kehilangan 'rumah'?"

"Aku nggak menyediakan tempat yang kalian sebut rumah."

"Kamu nggak sadar aja."

Arsad memilih diam, bukannya kehilangan kata-kata. Berharap kemacetan ini lekas terurai. Tapi tidak berharap Indira akan diam.

"Tapi, Ar."

"Hm?"

"Apa kamu pernah kehilangan 'rumah' juga?"

Arsad benar-benar diam. Indira tidak mendesak dan hanya menebak-nebak di antara kehilangan yang sudah dilewati suaminya ini, mana yang paling menyakitkan. Mana yang membuatnya menjadi sedingin ini.

Ketika mendengar cerita Tante Elma suatu hari, dia begitu iri, dia ingin datang lebih awal dalam hidup Arsad. Dia ingin menemui Arsad yang katanya punya senyum sehangat matahari.

***

Indira merintis Indi's Florist dua setengah tahun lalu. Tempat yang dulu dia sewa tidak sebesar sekarang. Dia bahkan harus mencicil biaya sewa selama tiga bulan dan belum memiliki lima karyawan seperti sekarang. Berkat dua sahabat baiknya, toko bunganya tumbuh perlahan tapi pasti. Koneksi luas mereka yang bantu mempromosikan toko Indira.

Salah satu dari sahabatnya punya kebiasaan datang tanpa memberi kabar.

"Nggak dianterin?"

"Maunya sih tiap hari." Indira memeluk Anya yang rapi dengan setelan kerja sebelum mengeluarkan kunci dari dalam tas.

"Arca, maksud gue Arsad, nggak seperti yang gue takutkan, 'kan?"

Indira mendorong pintu besi. Selain Ibu, Anya adalah orang kedua yang tidak suka dirinya menikah dengan Arsad.

"Kebanyakan nonton film," komentarnya santai di antara bunyi derit besi dan pintu lapis kedua yang dibuka.

"Terserah kalau nggak ada yang percaya sama gue. Tapi gue yakin dia itu psikopat."

"Judul filmnya apa?"

"Indi!" Kesal karena penilaiannya tidak pernah digubris siapa pun, termasuk Naga. Dia sudah lelah membujuk Indira untuk berpikir ribuan kali sebelum menikah dengan Arsad, tapi tidak didengar. Setelah mereka resmi menikah, Anya masih sulit menghilangkan kebiasaannya untuk mencela Arsad.

Sayangnya dia tidak pegang bukti apa-apa. Tapi firasatnya kuat. Kebencian tanpa alasan ini bagi orang lain memang terkesan mengada-ada. Anya kadang frustrasi sendiri.

"Masuk? Aku bikinin kopi."

Indira menaruh tasnya di meja, menarik tali roller blind di jendela, lalu menuju mesin pembuat kopi. Dia juga mengeluarkan kukis buatannya dari kulkas. Anya duduk di meja bundar yang biasa digunakan untuk menerima tamu pelanggan.

Aroma kopi menguar di antara wangi bebungaan sisa kemarin. Setelah ini Indira akan menyortirnya, masih ada waktu sebelum buka jam delapan nanti. Dia bisa duduk mendengarkan Anya serta hipotesisnya tentang Arsad yang selalu sama: psikopat.

Indira hanya membiarkan. Karena percuma menjelaskan, sia-sia menyebutkan sisi baik Arsad. Sampai kapan pun Anya tetap dengan asumsinya. Dia sempat mengira akan dimusuhi Anya tapi ternyata tidak seburuk itu. Anya tetap datang padanya.

"Naga bisa temenan baik sama Arsad lho, Nya."

"Ya itu dia, bukan gue. Maaf-maaf aja gue nggak mau temenan."

"Tapi makasih kamu mau dateng ke nikahanku. Aku sempet stres takut kamu musuhin aku."

Anya mengambil satu keping kukis dan menggigitnya. "Gimana pun kita sahabatan. Orang jatuh cinta emang susah dibilangin."

Indira meraih kalender duduk dan spidol merah, menandai beberapa tanggal sebagai reminder. Membiarkan Anya sejenak menikmati kopi dan kukisnya.

"Kalau sesuatu terjadi dan nggak tahu mesti ke mana, lo boleh lari ke gue, Ndi. Meskipun gue nanti bakal bilang 'i told you!' ratusan kali, dengerin dan terima aja. Lo emang salah udah milih lelaki kayak dia."

Tidak, Indira tidak marah meski Anya seperti sedang menyumpahinya. Dia kenal baik Anya sejak di bangku kuliah dan orangnya memang begitu. Selalu mengatakan apa yang terlintas di kepalanya tanpa repot-repot mau memfilternya.

Mungkin ini juga yang membuat Indira tidak ambil pusing dengan Arsad yang sedikit mirip dengan Anya. Mereka punya persamaan.

"Maaf, Nya, kayaknya aku bakal lari ke Naga sih."

"Istrinya galak."

Indira tertawa.

***

Mulai love hate sama Arsad? Atau hate aja? Heuheu.

Aku drop mini prekuel Home di Karyakarsa, utk detailnya bisa cek di chapter paling atas ya. Tengsskyu😉🙌

Selasa/11.07.2023

Home. [End]Where stories live. Discover now