25🍁

842 94 10
                                    

Tama dan Bian sedang berada di ruang cuci darah. Posisinya saat itu Tama berbaring di atas brankar, sementara Bian duduk di kursi yang berada di sebelah brankar. Seperti biasa, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan terlebih dahulu sebelum Tama melakukan cuci darah. Setelah selesai diperiksa, akhirnya pelaksanaan cuci darah pun dimulai. Seperti  biasa, dokter memasukkan jarum pada pembuluh di bagian lengan Tama untuk menghubungkan aliran darah dari tubuh ke mesin khusus pencuci darah. Dengan begitu, darah akan mengalir ke mesin untuk disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh.

Melihat darah Tama yang mulai terlihat mengalir ke selang, membuat Bian merasa benar-benar takut. Namun, saat ia memperhatikan Tama, sepertinya  wajahnya terlihat biasa saja seperti tidak sedang menahan sakit sama sekali. Ia pun berpikir bahwa mungkin karena Tama sudah terbiasa, jadi ia tidak kaget lagi dengan rasa sakitnya.

"Rileks aja ya, Ta. Nanti saya ke sini lagi. Kamu tidur aja. Kalo udah ngerasa ngga kuat, bilang aja sama kakak. Nanti kakakmu suruh panggil dokter, ya?" ucap dokter pada Tama.

"Iya, dok," jawab Tama.

Setelah itu, dokter pun keluar dari ruangan itu meninggalkan Tama dan Bian.

"Dek, sakit ngga sih? Kok kamu ngga ada reaksi apa-apa?" tanya Bian khawatir. Ia tampak menggenggam tangan Tama untuk sedikit memberi ketenangan pada Tama.

"Aku udah biasa, kak. Lagian kalo baru pertama emang masih biasa rasanya. Sakitnya masih bisa ditahan, kak," ucap Tama.

"Berarti kalo udah agak lama sakitnya makin kerasa yah, dek?!" ucap Bian pada Tama.

"Iya, tapi kak Bian tenang aja. Ini ngga pa-pa, kok," ucap Tama masih bisa tersenyum ke arah Bian.

"Beneran ngga pa-pa? Kak Bian khawatir sama kamu, dek. Liat darah ngalir banyak banget kayak gini malah kak Bian yang merinding jadinya," ucap Bian.

"Ngga pa-pa, kak. Kak Bian ngga usah khawatir. Ya udah, aku mau tidur ya, kak? Aku udah mulai ngantuk. Ini pasti bakal lama. Kak Bian kalo ngantuk juga boleh tidur juga, kok. Nanti tidur aja kalo ngantuk," ucap Tama.

"Iya, dek. Udah adek tidur aja kalo ngantuk. Kak Bian tungguin di sini sampe selesai," ucap Bian.

"Makasih ya, kak," ucap Tama lalu memejamkan matanya setelah itu.

Bian pun menunggu Tama di ruang cuci darah sambil memperhatikan wajah Tama yang sedang tidur di atas brankar. Ia tampak mengelus tangan Tama lembut dan sesekali ia akan memainkan ponselnya saat ia merasa bosan.

Setelah beberapa lama Tama tertidur di atas brankar, tiba-tiba saja Tama mengerutkan dahinya seperti sedang menahan sakit.

"Dek, kamu kenapa?!" ucap Bian panik saat melihat Tama yang sepertinya sedang merasa kesakitan.

Tama lalu membuka matanya dan melirik ke arah Bian yang tampak panik menatap ke arahnya.

Tama tidak menjawab ucapan Bian. Ia malah menangis saat Bian menanyakan hal itu.

"Dek, kok malah nangis?! Adek kenapa?! Apa yang dirasain adek sekarang?!" ucap Bian semakin panik melihat Tama menangis.

"Kak..," panggil Tama sambil meneteskan air matanya.

"Iya, dek. Kakak di sini," ucap Bian.

"Sak..kit..," ucap Tama sambil menangis.

Mendengar Tama mengatakan bahwa dirinya merasa kesakitan, membuat Bian juga merasa sakit sekali mendengarnya. Namun apa yang bisa ia lakukan? Ia sama sekali tidak bisa melakukan apapun. Ia ingin sekali bisa menghilangkan rasa sakit yang dirasakan oleh Tama saat ini, namun ia tidak bisa melakukannya. Bahkan hanya untuk menguranginya sedikit pun ia tidak bisa.

Kakak Sempurna Untuk Saka || JENO × JISUNG√Where stories live. Discover now