Bab 11: Tentang Sebuah Kabar Baru

17 11 1
                                    

***

"Amarah yang memuncak dilahirkan dari rasa khawatir, ketakutan dan tak ingin kehilangan."

***

"Udah biasa, Bu? Emang dia sakit apa?"

"Ibu juga gak tahu, Na. Mereka gak bilang Darren punya penyakit apa ke pihak sekolah, mereka bilang itu keprivasian keluarga!" seru Bu Becca.

Aku menganga mendengarnya. Bisa-bisanya keluarga Darren tak memberitahu dan menganggap penyakit Darren sebagai 'privasi keluarga'. Memang seberapa berat penyakit Darren.

"KENAPA IBU GAK BILANG KALO DARREN PUNYA PENYAKIT?!" ringisku.

Bu Becca menarik tanganku, "Tenang, Na, hal ini udah biasa terjadi. Lagipula kamu gak sadar? Dari dulu Darren sudah seperti itu, dalam seminggu tak pernah penuh masuk sekolah, pasti ada hari dia harus dilarikan ke rumah sakit berkali-kali,"

Hah?!

Apakah separah itu? Aku bahkan terlalu sibuk dengan diri sendiri sampai-sampai tak mengetahui keadaan orang terdekatku dan tak menyadari semua yang telah terjadi itu.

Saat ini genangan air mulai bersemayam di kelopak mataku, sebisa mungkin aku menahannya agar tak segera mengalir di pipiku; dengan sesekali melihat langit-langit ruangan. Aku tak mau Bu Becca ikut khwatir tentangku juga. "Apa Ibu gak takut kalo penyakitnya, penyakit menular?"

"Mereka bilang 'bukan'," balasnya sembari tersenyum.

"Kamu tenang aja, dia pasti balik lagi," sambung Bu Becca.

Aku mengangguk lalu keluar berlari secepat mungkin. Tak kuasa menahannya lagi. Kini air mataku dengan mudahnya beterjunan membasahi pipi dan mengaburkan penglihatanku. Sekarang, aku tahu tujuanku berlari. Rumah Darren. Meski tak ada bus atau kendaraan umum yang melewat, aku harus tetap berlari menuju rumahnya, kendati kaki sudah tak bisa menahan tubuh. Aku harus meminta kebenaran dan pernyataan dari keluarganya. Mungkin ada salah satu keluarganya yang kini masih tinggal di sana.

Hikss... Hiksss...

Terus saja aku meringis sembari berlari sampai rumahnya, "Haghh! Itu dia!" gumamku saat melihat lelaki paruh baya di depan rumah Darren. Ia terlihat kewalahan dengan barang-barang yang tengah ia bawa, segeralah aku mendekatinya cepat, "Pak! Maaf, Bapak ini ayahnya Darren?" tanyaku tiba-tiba.

Ia masih terlihat kebingungan dengan muka menyeramkannya melihat aku yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Bukan!" balasnya singkat sambil berjalan menuju mobilnya.

Aku harus berusaha mencegatnya, "Pak, tunggu! Kalo bukan ayahnya, terus Bapak siapa? Sekarang Darren di mana, Pak?" Aku terisak.

Kemudian tatapannya menyapu tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki, mungkin karena penampilanku yang masih berbalut seragam sekolah, ia menjawab, "saya Om-nya. Kamu gak tahu, kalo ayahnya udah meninggal tiga tahun lalu?" ia bertanya balik sembari masuk ke dalam mobil dan meninggalkanku tanpa pamit.

Hahhh...

Sedetik mungkin tangisanku kembali pecah. Hikss ... Hikss ... Hikss ... Kedua kakiku bergetar lemas, tak tahu apa lagi yang harus kulakukan saat ini. Tak ada lagi 'kunci' untuk menemui Darren kembali. Semuanya gagalgagal. Semuanya terjadi karena salahku.

Drtt... Drrtttt...

Bunyi handphone terdengar dari dalam tas yang tengah kugendong dengan satu bahu. "Hhhaaa?!" perasaanku bercampur aduk tatkala melihat nama Darren di layar HP. Sedih, bahagia, takut, menyesal dan entah apa lagi yang kurasakan saat ini; semuanya membuat kakiku semakin tak mampu menahan tubuhku. Aku terjatuh tanpa daya melihat layar gawai yang masih menampilkan panggilan dari Darren.

I Have a Crush on You [COMPLETED]Where stories live. Discover now