[10] Kenapa Aku Tidak?

319 81 8
                                    

“Heh! Cha, ini serius?”

Mas Harun mendongak dramatis ketika aku meletakkan undangan di atas mejanya. Sebagai balasan atas pertanyaannya, aku melempar senyum sambil mengendikan bahu.

Lagian, apalagi sih yang perlu kujawab? Namaku jelas-jelas tertera di sana, ya tidak mungkin itu undangan pernikahan orang lain. Masih dengan alis terangkat tinggi dan mulut setengah terbuka, Mas Harun membuka undanganku.

Sekarang, giliran Anya dan Dania. Sepertinya mereka juga penasaran, apalagi mendengar suara Mas Harun barusan.

“Nya, dateng, ya.” Aku menyerahkan undanganku ke Anya lalu beralih ke kubikel Dania. “Dan.”

“Akhirnya ada juga yang nikah di ruangan ini,” sahut Anya.

Berbeda dengan Anya yang tersenyum memberi selamat, Dania malah kelihatan terpaksa menunjukkan senyumnya ketika membuka undanganku. Mungkin, lagi-lagi dia iri karena aku mendahuluinya.

Ujung bibir kananku terangkat. Berbeda dengan dulu, entah mengapa kali ini aku menjadi sedikit kesal dengan Dania yang terus-menerus menjadikanku referensinya. Maka dari itu, aku sengaja membuatnya semakin iri.

“Cha, ini kok nama calon lo Abimanyu. Bukannya David?” tanya Mas Harun.

Aku melirik Anya dan saling melempar senyum geli. Di ruangan ini, memang hanya Anya yang tahu aku telah berpisah dengan David dan menjalin hubungan dengan Abim.

Tapi itu pun ketahuan Anya karena kami tidak sengaja berpapasan ketika Abim menjemputku sepulang kantor. Mau tidak mau, aku menceritakan garis besarnya pada Anya dan memintanya tidak menyebarkannya.

“Gue udah putus sama David, Mas,” jawabku.

Mas Harun manggut-manggut. “Abimanyu Nabhan. Namanya enggak asing,” gumam Mas Harun dengan kening mengerut.

Padahal aku berharap tidak ada yang mengenali Abim. Sekali lagi, aku melirik Anya. Memohon dengan tatapan mata agar dia tetap diam.

“Kayak nama yang pernah ikut Mister Chef.” Suara dari sebelah kiriku langsung menarik atensiku. Dania tahu.

“Oh! Iya, bener!” seru Mas Harun.

“Tapi enggak mungkin dia, kan, Kak?” tanya Dania.

“Apanya yang enggak mungkin?” Anya menyela. “Calonnya Ocha emang Abimanyu yang lo pikirin sekarang. Iya, kan, Cha?”

Semua mata tertuju padaku. Aku membalas tatapan mereka satu per satu kemudian tersenyum. Anya tersenyum lebar, Mas Harun bertepuk tangan, sementara Dania tidak bereaksi. Dia menunduk memandangi undanganku.

“Cha, gue sering tau recook resep calon lo ini,” kata Mas Harun tiba-tiba.

Aku hanya mengangguk sebagai reaksi dari selintas informasi dari Mas Harun. “Nanti malam kalian ada acara enggak?”

“Ada apa nih?” tanya Anya.

“Gue mau ngajak kalian makan malam di restonya Abim.”

Ide barusan bukan berasal dariku, melainkan Abim. Katanya, dia merasa tidak adil selama tiga bulan saling mengenal, hanya aku yang tahu pergaulan dan orang-orang yang bekerja bersamanya. Sementara dia cuma pernah bertemu dengan Anya.

“Asek! Dimasakin langsung sama calon suami lo, kan?” Anya memutar kursinya menghadap ke arahku.

“Biar gue yang minta kalau lo mau.” Aku tahu Anya bercanda, makanya aku ikut bercanda.

Anya terkekeh. “Ya udah, gue bisa.”

“Gue juga!” sambung Mas Harun yang tak kalah semangat.

Tidak mendengar jawaban Dania selang beberapa detik, aku menoleh. “Dan?”

Marriage First, Love Later [HIATUS]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora