[5] Menolak Pisah

417 89 3
                                    

"Dilihat dari reaksi kamu, kayaknya kamu udah tau rencana orangtua kita," ujar Abim sementara aku masih memasang sabuk pengaman.

Mobil melaju pelan ketika aku menoleh ke arahnya. "Sebenarnya, iya. Tadi sebelum sampai, Mama saya udah bilang pulang nanti nebengnya sama kamu."

Sudut bibir Abim terangkat, tapi tidak lama karena dia kembali menormalkan ekspresi wajahnya. "Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran?" tanyanya.

"Sori?" balasku tak mengerti maksud pertanyaannya.

Abim melirik singkat. "Dulu kan kamu selalu nolak dikenalin sama saya."

Alisku terangkat. "Oh."

"Enggak apa-apa kalau kamu enggak mau jawab," kata Abim.

"Karena orangtua." Jeda sejenak sebelum aku melanjutkan. "Saya rasa enggak ada salahnya ngikutin pilihan orangtua." Dan alasan lain yang tidak bisa kuceritakan pada siapa pun. Mungkin bisa, tapi lawan bicaraku nanti akan tertawa dan menganggap aku harus cepat-cepat mendapatkan penanganan. Apalagi situasi kali ini melibatkan orang yang baru pertama kali aku temui.

"Berarti pacar kamu ..." ucap Abim menggantung.

Ujung bibirku terangkat. Bukan karena pertanyaan Abim, tapi lebih kepada informasi tentangku yang ternyata sampai ke laki-laki ini. Selain aku, sepertinya namaku selalu muncul dalam percakapannya bersama mamanya.

"Putus."

Dari sudut mataku, Abim meresponsnya dengan mengangguk-angguk.

"Kamu sendiri, kenapa mau dikenalin sama saya?" tanyaku.

Abim mengetuk-ngetuk jari telunjuknya sebentar pada setir sebelum menjawab. "Karena orangtua, kayak kamu. Emm, mungkin lebih tepatnya karena Mama saya."

Aku diam, mempersilakannya melanjutkan.

"Pilihan saya selalu berakhir putus, makanya saya berpikir mungkin pilihan orangtua lebih baik. Apalagi udah bisa dipastiin, Mama saya suka sama kamu."

Poin itu yang dulu tidak aku miliki bersama David. Mama dan Ayah tidak pernah menganggap David menantunya meski statusku telah resmi menjadi istri David.

Aku melirik sebentar ketika hening menyelimuti kami. Dari percakapan singkat antara aku dan Abim, kurasa aku setuju dengan Mama. Abim, untuk saat ini, memang punya pribadi yang baik. Dilihat dari bagaimana dia tidak mendesak agar setiap pertanyaannya mendapat jawaban dan tidak berusaha mengorek privasiku lebih jauh.

"Jadi, saya antar kamu pulang atau ikutin saran Mama saya tadi?" Abim memecah keheningan.

"Saran?" Aku mengingat-ingat saran apa yang dimaksud Abim sampai teriakan terakhir sebelum kami keluar dari rumah muncul di kepalaku. "Ah, jangan langsung pulang?"

"Iya."

"Saya terserah yang punya mobil aja."

"Kalau gitu, kita cari tempat yang nyaman buat ngobrol," putus Abim.

Seperti yang kukatakan sebelumnya. Abim tahu batas privasi seseorang dan itu yang dia lakukan. Aku tidak merasa terganggu dengan setiap pertanyaannya, apalagi kebanyakan Abim mengangkat satu topik dan membahasnya dilihat dari sudut pandangku dan sudut pandangnya.

Kuberikan satu poin lagi untuk Abim.

Hanya saja, beberapa kali dia harus pamit menerima telepon perihal pekerjaan. Aku tidak menaruh curiga dia berkomunikasi dengan perempuan karena aku ingat Mama pernah bilang Abim itu lumayan sibuk. Sayangnya aku lupa apa pekerjaannya.

"Maaf, Ocha. Saya janji ini telepon yang terakhir," katanya begitu selesai menerima telepon ketiganya.

Aku tersenyum maklum meski belum mengingat pekerjaan apa yang bahkan menyita waktu liburnya.

Marriage First, Love Later [HIATUS]Where stories live. Discover now