49; Kesetiaan

4.2K 707 257
                                    

nyoh update meneh

***

“Substansimu sebetulnya masih kurang dikembangkan lagi, kemarin sudah saya bilang, ’kan? Ini juga saya lihat teknis penulisannya masih perlu dirapikan lagi.” Sebagai seorang dosen, adalah salah satu kewajiban Jaka untuk jadi pembimbing bagi mahasiswanya yang tinggal menempuh tugas akhir. Siang ini juga dia ketemuan sama mahasiswi bimbingannya, Maria Anya Skolastika, buat membahas revisi yang udah anak itu kerjakan sebelumnya. Berhubung mereka berdua sama-sama ngga terlalu suka suasana yang kaku, maka dipilihlah sebuah working space dengan ambience mendukung supaya bimbingan kali ini bisa efektif.

Tapi apa bener efektif? Bukan satu-dua kali, tapi banyak kali Jaka tangkap gelagat mahasiswi di hadapannya itu ngga mendengarkan dia. Anehnya, di satu sisi Anya ngga bisa dibilang kurang fokus ke dia— kalian tau, ’kan, lebih kayak Jaka dipantengin doang dari tadi seakan dia itu objek tontonan. Dan ini bukan pertemuan pertama mereka yang terasa seperti itu, karena dari awal Anya memperkenalkan diri sebagai mahasiswi bimbingannya pun udah ada gelagat berbeda. Dulu Jaka memang bodo amat, tapi sekarang dia risih.

“Anya, kamu ngga dengar saya menjelaskan?”

“O--oh, dengar, Pak. Maaf, tadi agak kurang fokus soalnya saya semalam kurang tidur.”

Jaka berusaha bersabar, “Kamu ini tinggal skripsian, jangan dibiasakan kurang istirahat, nanti ngga bagus.” Meskipun bukan seperti dosen wali, sah-sah aja kalau pembimbing seperti dia dicurhati masalah semester tua yang mengganggu tugas akhir mahasiswanya. Anya punya banyak alasan macam ini tiap kali mereka ketemu, kurang tidur lah, habis opname lah, tralala trilili, Jaka muak banget dengar itu semua.

Kamu pikir saya peduli? Kalimat itu udah bener-bener menunggu di ujung lidah, dan pasti bakal Jaka lontarkan kalau dia ngga ingat ada integritas yang musti dijaga sebagai pengajar. Mungkin satu kali atau dua kali boleh, tapi kalau terus-terusan, itu namanya caper, alias cari perhatian.

“Iya, Pak, terima kasih sudah khawatir.” Senyum manis Anya terbit. Wajah yang sama udah menghiasi halaman muka promosi universitas karena cewek ini termasuk mahasiswa berprestasi.

“Oke, saya lanjut, ya.” Jaka putuskan buat ngga ambil pusing sama anak bimbingannya itu. Dia udah bodoh amat mau Anya dengerin atau engga, mau mencatat atau engga, bahkan kalaupun dia ngga ngerekam sesi bimbingan kali ini. Kalau nanti anak itu jadikan kelalaiannya ini sebagai excuse buat hubungi dia lagi dan lagi, paling Jaka bakal arsipkan nomornya.

Kesabaran sang dosen yang tinggal di ambang, akhirnya habis juga setelah dia lihat dari sudut mata kalau Anya justru arahkan ponsel ke dia diam-diam. Senyum di bibir cewek itu menjelaskan lebih dari cukup kalau dia ambil gambar sang dosen tanpa izin.

“Bagus hasil fotonya?” Tanya Jaka dengan nada ngga bersahabat. Dia tatap si gadis tepat di mata, bukan dengan sorot ramah seperti yang biasa, tapi beneran sirat intimidasi tanpa ditutupi. “Kamu foto saya diam-diam, ’kan?”

Anya gelagapan di tempat duduknya, takut-takut masukin ponsel ke tas yang dia taruh di kursi sebelah. “Uh-- engga, Pak, t--tadi saya balas pesan dari Mama.”

“Jangan bawa-bawa orang tua buat bohong, Anya. Di mana rasa hormat kamu ke mereka?”

“ . . . ”

“Saya terus terang ngga suka dengan perilaku kamu setiap kali bimbingan. Ngga pernah fokus, jarang mencatat ataupun merekam penjelasan, nanti masih tanya lagi lewat chat. Kamu pikir saya ngga sibuk? Urusan saya bukan cuma mengoreksi revisian kamu, Anya.”

“S--saya mohon maaf, Pak. B--belakangan kegiatan volunteer saya bikin—”

“Bikin apa? Mau bohong apa lagi kamu supaya dapat perhatian dari saya?” Kedua tangan si gadis tepat bertaut di pangkuan, dia nunduk. Rasa-rasanya udah mau nangis karena ini baru pertama dia tau Pak Jaka marah. Mana marahnya beliau langsung tepat sasaran dan kata-katanya tembus menusuk hati. “Saya tengok kamu ini lebih sibuk memikirkan cara untuk tampil menarik waktu bimbingan ketimbang mengurus BAB tulisanmu sendiri. Ini bukan kencan, tapi saya bantu kamu berproses . . . proses yang harus dilewati untuk bisa dapat gelar sarjanamu.” Jaka katakan itu dengan telunjuk mengetuk-ngetuk permukaan meja, tanda kalau dia pingin banget Anya tangkap setiap poin penekanan dari kata-katanya.

[1] Mas Jaka | ft. NoRen (✓)Where stories live. Discover now