[1] Mas Jaka | ft. NoRen (✓)

08; Demi Seseorang

“Bercanda kamu.” Situasinya tegang karena Ayah balas ide absurd Radi dengan kalimat yang dingin. Beliau ngga pernah kelewatan marah, tapi sekarang bisa Radi lihat dari tatapannya kalau Ayah ngga percaya sekaligus kecewa sama apa yang barusan dia ucap. “Jangan dipikir Ayah bakal kasih izin dan restu buat kamu melakukan itu.” Di sisi lain meja, Radi belum paham posisinya. Dia yang dari kecil disayang ekstra sama Ayah dan kemauannya selalu coba dituruti, jadi ngga ngerti kapan dia harus berhenti sebelum bikin Ayah muak.

“Kenapa engga? Katanya aku disuruh mikir-mikir buat nerima juga, ’kan?”

“Itu beda cerita, Saga!” Cakra tahan emosi supaya ngga meluap di depan anak dan istrinya. Semarah apa pun, dia sebagai kepala keluarga masih punya kewajiban untuk mengayomi mereka. “Sekarang udah jelas laki-laki itu ngga dewasa dan mustahil bertanggung jawab atas kamu. Gila namanya kalau Ayah sama Bunda lepas kamu menikah dengan dia!” Air muka yang tampil di wajah Radi menegaskan bahwa dia ngga setuju sama ucapan Ayah. Faktanya malah argumen barusan membuka sanggahan baru di benaknya.

“Memangnya Ayah sama Bunda ada coba cari tau dulu dia orang seperti apa sebelum punya niat jodohin kami? Kalian pun langsung terima aja tawaran dari keluarga Om Danis, ’kan?” Cakra kelihatan syok, ngga mengira si anak tunggal yang selama ini banyakan magernya dan ndekem di kamar sanggup mempertanyakan keputusan orang tuanya begini. Widya sama kagetnya, dia geser supaya lebih dekat sang suami dan elus punggungnya. “Om Danis sama Tante Tara itu memang kenalan lama, tapi mereka orang baik dan tanggung jawab. Itulah kenapa Bunda sama Ayah merasa kalau cara mereka mendidik Jaka pun akan sama baiknya.” Jelas Widya pelan-pelan, sesekali lirik Cakra yang udah remat kuat taplak meja.

“Nah, itu masalahnya. Kalian menilai cuma dari asumsi yang kelihatan, tapi di dalemnya ada apa kita juga kan ngga tau,” Kunjungan pertama Radi ke rumah keluarga Estiawan dan pertemuannya sama Dara seolah membuka mata dia sedikit lebih lebar kalau ada banyak lagi hal yang disimpan keluarga Estiawan. Itu bukan keanehan, tentu aja, setiap keluarga pasti punya rahasia dan aib yang ngga akan ditunjukkan dengan mudahnya karena penilaian orang mungkin bisa berubah kalau mereka tau. “Aku yakin, bahkan dibanding Ayah sama Bunda, aku yang cuma kenal tipis sama Pak Jaka jauh lebih banyak ngobrol sama dia . . .” dan mungkin juga tau beberapa hal yang bahkan Jaka ngga katakan ke orang tuanya.

“Karena saya mau lari.”

Anak dari keluarga yang katanya ‘sempurna’ di mata orang, justru mau pergi jauh-jauh, dan Radi bisa mati penasaran kalau dia ngga cari tau alasannya.

“Aku percaya kok, sama Pak Jaka.” Ungkap Radi final, dia sejujurnya ngga pikir panjang waktu bilang ini, dan konsekuensinya bakal kaya apa juga ngga tau. Dia lihat ekspresi kaget Ayah cuma sebentar, dan setelah itu beliau senyum— tapi sorot matanya itu tajam banget, belum pernah dia saksikan dulu-dulu.

“Apa yang dia bilang sama kamu sampai kamu berani bela dia gini, hm? Coba jelasin ke Ayah.” Radi diem karena dia ngga siap dengan pertanyaan itu, pun juga jawaban yang harus dia kasih ke Ayah. Beliau habis itu ketawa sarkas, dan kata-kata setelahnya beneran ngga Radi sangka akan keluar, “Kenapa? Ngga bisa jawab? . . . goblok kamu, Ga.” Bahkan Bunda langsung nengok ngga percaya, tangannya semula berusaha nenangin Ayah jadi berhenti. Cakra yang selalu punya soft spot buat sang anak, tiba-tiba begini karena perdebatan mereka.

“Ayah barusan bilang aku apa?” Sakit hati rasanya Radi dikatain begitu sama sosok yang udah dia anggap sebagai panutan di keluarga. Badannya gemetar, tapi bukan karena takut, melainkan amarah. “Semoga Ayah ngga bener-bener serius ngucapin itu.” Tuturnya, nahan geram.

“Emang kenapa? (“Mas, jangan gitu–”) Cuma orang bodoh yang udah dikasih bukti berkali-kali dan masih menyangkal.” Cakra masih umbar senyum sinisnya, sama sekali ngga acuh sama Widya yang coba melerai. “Kamu itu masih muda, nikahnya nanti aja, kuliah dulu.”