Ziva masih betah memeluk Sagara dari belakang. Bahkan Saat Sagara beranjak dari pantry untuk mencuci tangan di wastafel dapur. "Va, lepas dulu. Aku susah cuci tangan nya."

"Nggak mau!" balas Ziva masih memeluk Sagara sampai cowok itu selesai mencuci tangannya.

Sagara menghela napas. Cowok itu berbalik dan tanpa persiapan mengangkat Ziva menuju pantry dan mendudukinya di atas sana. Si empu sendiri hanya cengengesan.

"Jadi, kenapa kamu tanya kenapa? Eh... Gimana sih?!" Ziva menggaruk kepalanya, bingung sendiri. "Maksudnya, kenapa kamu tanya kayak gitu?"

Sagara mengedikan bahu. "Cuma penasaran," Ia kemudian tersentak halus saat Ziva mengalungkan kedua lengannya di leher Sagara sehingga kepalanya sedikit menunduk. Sagara terdiam, terkejut akan tindakan perempuan itu.

Biasanya Sagara dahulu yang akan mengukung Ziva saat dia ingin menciumnya agar Ziva tidak berontak dan kabur. Sejujurnya Sagara agak merinding menerima sisi agresif dalam dirinya. Namun, dia seolah susah mengendalikan diri saat berada di dekat Ziva.

Ziva menatap Sagara cemberut saat Sagara terlihat tidak menyadari apa yang selama ini cowok itu lakukan untuknya. "Ga, siapa sih yang nggak akan nyaman di deket kamu? Kamu itu baik, perhatian, pengertian, selalu manjain aku juga. Semua sikap kamu itu yang buat aku... Ketergantungan sama kamu? Ya, mungkin singkat nya itu yang aku rasain. Dan kamu masih tanya 'Kenapa'?"

Sagara tersenyum tipis. Kedua tangannya kemudian berpegang pada meja pantry yang Ziva duduki sehingga kini dia terlihat mengurung Ziva dengan kedua tangannya. Satu tangan Sagara terangkat untuk menyelipkan anak rambut Ziva ke belakang telinga. "All of that's a way to show my love for you."

"Because you love me, can you promise me not to leave me forever?"

Sagara terdiam sebab kata selamanya begitu awam di dunia ini. Namun, "Aku nggak bisa janji. But, I will try to always be by your side,"

Ziva tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya, Ziva mengecup bibir Sagara lebih dulu. Cukup cepat, namun berefek pada Sagara. Cowok itu terdiam dengan mata yang terus menatap Ziva.

"I love you." Dan untuk pertama kalinya juga, Ziva menyatakan perasaannya pada Sagara. Membuat mata Sagara yang sedang menatapnya bergetar. Antara senang dan tidak menyangka kalau akhirnya perempuan yang begitu amat berharga untuknya mau membalas semua perasaannya.

"Lagi. Say it again," ujar Sagara lirih.

"I love you."

"Lagi,"

"I love you. I really love you, Sagara Pradipta."

Detik itu juga, bibir Sagara langsung menyapa bibir Ziva dengan lembut sehingga Ziva tersentak karena terkejut. Namun, kali ini Ziva tidak memberontak. Dia diam membiarkan Sagara melakukan apapun padanya.

Satu tangan Sagara beralih menyentuh tengkuk Ziva sementara tangannya yang lain melingkar di pinggang Ziva, menariknya untuk semakin rapat. Selanjutnya, lumatan dan pangutan dapat Ziva rasakan, sangat lembut dan penuh ketulusan hingga Ziva memejamkan mata.

Ziva tersentak saat sadar tangannya beralih menyentuh dada Sagara. Ia menatap Sagara yang juga tengah menatapnya.

"Why?"

Ziva menggeleng. Jari-jari tangannya turun menyapu barisan otot-otot perut yang tertutup kaos itu. "Ini, boleh di buka?"

Tanpa basa-basi, Sagara melepas kaos yang di kenakannya. Bukan yang pertama kali, tapi Ziva masih saja merona melihat pemandangan di hadapannya.

"Can I do it again?"

Ziva mendengkus. Sagara bertanya demikian seolah baru pertama kali mencium Ziva. Biasanya juga langsung nyosor tanpa ada izin-izin terlebih dahulu. Namun, Ziva tetap mengangguk. Dan Sagara kembali menciumnya lagi. Kali ini, sedikit terburu-buru.

Figuran Wife [Republish]Where stories live. Discover now