21. A Challenge

14.6K 1.7K 124
                                    

Chapter 21. A Challenge

Altair pulang dalam keadaan wajah yang memar di beberapa titik seperti, tulang pipi, sudut bibir, sudut mata serta dahi. Cowok yang masih mengenakan pakaian kantor itu duduk di sofa ruang tamu seraya berdecak karena sudut bibirnya terasa ngilu. Sagara sialan!

Altair tidak menyangka, Sagara akan ikut campur lebih jauh dalam hubungannya dan Ziva. Sebelumnya Altair tidak mempermasalahkan melihat Sagara turun tangan hanya demi membela Ziva disaat pertikaian antara dirinya, Ziva dan juga Aurora terjadi karena Ziva yang tidak penting untuk Altair saat itu. Namun, kini Altair begitu tidak suka. Rasanya Altair ingin membunuh Sagara karena teman dekatnya itu selalu mencampuri hubungannya dengan Ziva.

Ah, menganggap Sagara sebagai teman dekatnya lagi pun kini Altair rasanya tak sudi. Ya, sejak Sagara menghajarnya karena mengetahui Altair tidak mau menikahi Ziva, Altair rasa tidak ada lagi kata 'teman dekat'. Hubungan pertemanan nya sudah rusak saat itu juga.

Berdecih, Altair mengumpati Sagara dalam hati. Apa Sagara pikir dengan cara memukuli Altair seperti tadi akan membuatnya berhenti? Tentu saja tidak. Altair yakin Ziva bersikap dingin padanya seperti ini hanya karena perempuan itu kecewa padanya. Altair yakin Ziva masih punya rasa terhadapnya. Tidak mungkin, perasaan yang Ziva miliki sejak remaja untuknya hilang dalam semalam. Ya, Altair yakin itu.

"Al!" Altair menoleh saat mendengar seruan istrinya. Aurora berdiri dihadapannya dengan mata membulat, seperti terkejut dengan keadaan wajahnya. "Pipi kamu––Ah, nggak! Muka kamu kenapa?!"

Altair menghela napas. Malas menjelaskan, dia berkata, "Obatin aku."

Aurora mengangguk. Ia duduk di sebelah Altair dan menarik laci meja ruang tamu untuk mengambil kotak obat. Ia meringis melihat luka yang mulai lebam kebiruan di wajah Altair.

"Kamu berantem sama siapa?" tanya Aurora.

"Jangan banyak tanya, Ra." balas Altair sesekali meringis. Sudut bibirnya benar-benar nyeri hingga di pakai bicara pun rasanya menyakitkan.

Setelah di obati, Aurora mengajak Altair untuk makan malam. Perempuan itu mengatakan kalau Aurora membuat opor ayam kesukaannya. Aurora mengatakan kalau dia juga belum makan karena menunggunya untuk makan bersama.

Altair menelan paksa makanannya sebelum mengambil gelas berisi air dan meminumnya dengan rakus. Ia menatap Aurora yang menatapnya bingung dengan tajam. "Kamu buat kuahnya pake santan?"

"I-iya, Al. Aku takut kamu bosen karena kuahnya pake susu terus," balas Aurora pelan. Ia menatap Altair takut.

"Kamu 'kan tahu aku nggak suka opor ayam pake santan! Kamu lupa?!" bentak Altair. Sial, emosinya belum juga hilang sejak pulang dari rumah Ziva.

"Aku cuma inisiatif, Al."

"Sebelumnya aku udah bilang pas kamu insiatif buat opor ayam pake kuah santan, kalau aku nggak suka! Kenapa kamu ulangi?!"

"Al, Aku... Aku––" Suara Aurora tercekat. Perlahan, ia menangis karena terkejut Altair begitu marah sekarang. Selama menjadi suami-istri, Altair belum pernah membentaknya seperti ini. Baru sekarang dan itu berhasil melukai hatinya.

"Nggak ada gunanya kamu insiatif gini. Kalau aku bilang nggak suka, ya nggak suka! Seharusnya kamu paham! Seharusnya kamu ngerti!"

Aurora terisak. "Maaf, Al. Aku nggak akan ulangi lagi."

Altair berdecak. Ia berdiri dengan kasar. Hal itu membuat Aurora ikut berdiri. Perempuan itu menahan Altair saat cowok itu hendak melangkah pergi.

"Al, kamu mau kemana?" Masih terisak, Aurora bertanya pada Altair.

Figuran Wife [Republish]Where stories live. Discover now