30 | [೫]

1.2K 226 6
                                    

"Nggak tahu. Sebelumnya Mas Harsa kayaknya nggak begitu suka sejarah. Nggak suka banget malah. Ini ..." Wira terlihat membolak-balik buku yang digenggam. Buku bersampul putih tulang dengan kertas yang masih berkilat. "... Aneh aja. Kalau dia baru-baru ini suka, harusnya baca yang gampang dulu. Pengenalan. Kayak baca buku daftar Raja-Raja yang pernah memerintah, ensiklopedi, atau buku sejarah yang bahas beberapa materi di satu buku. Intinya, buku yang pemaparan sejarahnya masih dibahas secara umum lah."

Wira mengernyitkan dahi penuh penekanan, sejurus ia mengangkat buku Dyah Pitaloka itu untuk mengarah pada kamera. "Biasanya buku-buku gini, berarti mungkin orangnya udah ada di fase kenal sejarah, makanya dia memperdalam pemahaman dengan baca buku yang lebih spesifik."

"Atau, mungkin Mas Harsa sebelum-sebelumnya udah suka belajar sejarah." Bahunya terangkat sejenak tanda heran. Kemudian mulutnya bergumam pelan.

Tak habis pikir dengan betapa rumitnya isi pikiran Wira. Pria itu hanya terus menerka dan bergulat dengan asumsi tanpa ujung. Kadita hanya lelah saja. Seraya melepas seatbelt, dia mengerutkan kening. "Terus masalahnya?"

"Ya enggak. Aneh aja, Dy. Sejauh yang aku kenal, Mas Harsa tuh buta sejarah. Dan males belajar sejarah. Kata Om Wisnu aja nilai sejarahnya Mas Harsa yang paling jeblok."

"Kali aja udah mulai seneng sejarah. Lagian kamu kenapa sih sewot."

"Aneh, Dy. Rasanya kayak kamu tiba-tiba suka makan durian."

"Ya──" ucapan Kadita terhenti oleh lidahnya sendiri. "──iya sih, itu aneh."

"Kan?"

Kadita mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu kanan, sementara tangannya sibuk menjinjing tas sebelum menutup pintu mobil dan berjalan dengan tergesa masuk ke dalam toko buku. Matahari sangat menyengat siang ini, kulit Kadita serasa tertikam bias surya yang liar. Keduanya melanjutkan pembicaraan lewat telepon, membicarakan isi buku Dyah Pitaloka yang menurut Wira tak begitu relevan dengan selera Harsa. Pria itu hampir anti romantisme. Tak mungkin tiba-tiba pula Harsa akan membaca literatur berbumbu romansa yang kental seperti sejarah kisah cinta Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka itu. 

Namun, sepertinya Kadita tertarik. Atau mungkin, proyeknya ke depan akan terinspirasi dari kisah Pitaloka yang tragis. Cerita cinta yang rumit berbumbu ambisi dan politik memang membuat Kadita mendadak tergugah hatinya untuk memainkan imajinasi dalam otak kerdil. Kadita bahkan terus bertanya pada Wira tentang buku itu secara rinci. Akan tetapi, pria itu menyebik, mengutuk kejahilan Kadita dan memaksa gadis itu untuk membaca sendiri saja.

Saat itu juga, Kadita memutari ruang perpustakaan untuk mencari buku yang dia buru. Seharusnya dia hanya mengambil manga komik vol.9 dari salah satu serial anime favoritnya, namun, sepertinya pembahasan Wira tentang buku Dyah Pitaloka itu tak terlalu sia-sia. Sambil mendengarkan petuah-petuah Wira yang mengkhawatirkannya akan kesiapan dan kelabilan Kadita perihal pernikahannya dengan Harsa──ah, pria itu tak tahu bila Harsa yang ia sanjung juga sebenarnya sedang mengalami krisis ketegasan figur manusia dewasa.

"Dia yang keukeuh. Tapi, bagus. Effort nya memang nggak main-main." Kadita menjawab.

Ada suara menganggu dari seberang sejenak, muka Wira menjadi blur sebelum pria itu kembali terbingkai ke dalam kamera dengan baik. "Kamu nggak ngelakuin apa-apa gitu buat bantu Mas Harsa?"

"Harusnya iya, Ra."

"Ya kamu ke mana aja sih."

"I have no power on it. Brataharsa bisa melawan karena dia punya kewenangan. Dia punya kuasa. Aku nggak punya apa-apa selain bawa diri sendiri. Dia berani, dan aku enggak."

ASMARALOKA (On Hold)Where stories live. Discover now