14 | [೫]

1.2K 250 40
                                    

"Mumet ndasku."


Harsa sedikit terkesiap dengan pekikan Lesmana. Kontan menggeser, Lesmana bahkan tak menghiraukan tangan Harsa yang tengah akan mengambil remot televisi di atas sofa. Sigap ia menarik tangannya sendiri agar tidak tertindih pantat pria jomblo akut dengan rambut acak-acakan seperti singa hutan. Malam baru saja akan datang bertandang, dan Lesmana sudah meracau tak jelas, mengemukakan wajah masam tak bersahabat.

Tak banyak yang tahu bila Harsa dan Lesmana mungkin memiliki hubungan pertemanan di luar korporasi. Lagi pula Lesmana juga tak pernah sebegitu sopan santun pada Harsa sang pemegang takhta tertinggi dinasti Kanigara yang tak tersentuh. Karena baginya, di luar perusahaan, Harsa hanyalah manusia biasa yang nahasnya diberkati dengan keelokan visual, itu saja. Lagi pula menurut Lesmana, level ketampanan Harsa juga tak begitu jauh dari limit kegantengan yang ia punya. Sungguh sombong dan terlampau percaya diri.

"Mumet ndasku artinya apa?"

Lesmana sedikit membuka matanya, "Artinya, keadaan yang sangat baik." Tumben-tumben saja si Harsa yang basa-basi duluan. Biasanya susah diajak bicara.

"Jadi kalau kamu mau mendeskripsikan sebuah keadaan yang sangat baik, ngomong aja mumet ndasku."

"Tapi kenapa mukamu bete gitu?"

Lesmana berkilah, langsung mengubah ekspresi wajahnya saat itu juga. "Bahagia nggak harus dipresentasikan dengan ketawa, 'kan?"

Harsa hanya mengangguk-angguk kecil sebelum kembali sibuk mengganti chanel pada televisi. Menahan senyum mengejek, Lesmana menyeringai jahil nan penuh kelicikan. Dasar om-om ibu kota. Rasanya akan lucu bila ajaran sesat Lesmana bisa sampai ke telinga Wira. Konyol saja.

"Bahasa Jawa itu gampang kok, Sa. Bahkan ada yang cuma satu kata aja, tapi udah mewakili satu kalimat."

"Contohnya?"

"Sek."

"Seg?"

"Bukan seg ngomongnya," Lesmana membenarkan pelafalan Harsa yang terdengar kental dengan aksen Jakarta. "Tapi, sek. K di belakang itu samar-samar. Terus harus ada penekanannya. Jadi, sek. Medok, Sa, medok. Sek, gitu. Nah, kalau kamu lagi buru-buru dan emosi banget, biasanya pelafalannya dua kali ... sek-sek! gitu."

"Ss," Harsa sedikit memiringkan kepalanya mencoba terakhir kali. "Sek?"

"Anak pinter." Lesmana memuji. "Sek itu adalah keadaan kalau kamu mau ngomong sebentar tunggu di situ, nanti saya balik lagi. Atau, sebentar sepertinya barang saya ada yang ketinggalan."

Harsa kembali hanya manggut-manggut lugu saja.

"Ada lagi, kalau kamu mau temenan ... menjalin relasi gitu, biar gampang bilang aja ayo rabi."

"Rabi?" Harsa lagi-lagi harus memutar sedikit kepalanya pada Lesmana yang tersenyum-senyum tidak jelas. Tidak terlihat mencurigakan, namun, mukanya itu aneh. "Rabi itu bukannya makanan kesukaan Bumi?"

"Itu serabi, sayang."

Harsa menggeser posisi duduknya beberapa inchi lagi menjauhi Lesmana. Hal yang perlu pria itu selalu ingat adalah bila ia hanya seorang direktur naungan Kanigara Capital. Bisa saja Harsa mencopot jabatan Lesmana semena-mena. "Sayang your ass!"

Ingin terbahak, namun kerongkongan serasa langsung tercekat tatkala mata Lesmana melihat sendiri sebuah buku tebal bersampul coklat tua yang diletakkan Harsa di atas paha. Bukan buku self improvement, bisnis, atau bahkan laporan keuangan Kanigara──pria itu tak seperti biasanya yang lebih memilih menukar selembar uang seratus ribu untuk membeli seporsi beatrice quarters ketimbang buku fantasi yang menurutnya tak berguna. Dan Lesmana baru saja benar-benar membaca "Perang Bubat" di sana.

ASMARALOKA (On Hold)Where stories live. Discover now