| prolog

3K 322 2
                                    

( sangat disarankan untuk membaca asrar buana I dan asrar buana II terlebih dulu )

×××

𝐰𝐢𝐰𝐢𝐭𝐚𝐧

00. bubat




Rangkaian bunga cempaka itu kelihatan menarik perhatian. Seperti halnya jemari lentik Pitaloka yang dengan indahnya membingkai setiap gerak dan ayunan tangan seperti sebuah irama sempurna.

Jika adiknya itu, Pangeran Niskalawastu Kencana ada di sini, Pitaloka yakin dia sudah tenggelam dalam merah padam pipinya sendiri. Niskalawastu selalu menggodanya perihal betapa mempesonanya seorang Hayam Wuruk. Raja Majapahit itu benar-benar selalu mampu membuat Pitaloka lupa diri.

Wajahnya laksana chandra yang seperti dipahat langsung oleh tangan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pengetahuannya seluas segara, dan kebaikannya sebesar bumantara. Kilatan matanya berpendar penuh dama, dan tutur katanya itu selalu terikat tata krama.

Keberaniannya bahkan sanggup meredupkan bagaskara, namun kebijaksanaanya mampu menenangkan riakan samudra. Tidakkah pria itu terlalu sempurna bagi Pitaloka? Bagi gadis kikuk yang belum pernah jatuh cinta?

Pitaloka bahkan masih tak percaya jika lukisan dirinya karya Mpu Sungging Prabangkara kala itu mampu menggetarkan hati seorang Prabu Hayam Wuruk. Ucap Maharaja Linggabuana, romonya, lukisan dirinya itu diberikan secara khusus untuk Hayam Wuruk oleh Mpu Sungging setelah pria itu tersihir oleh keelokan paras sang Putri Sunda.

Wajah indah Pitaloka itu masih menjadi rahasia sebelum pernikahan agung akan dilangsungkan. Kata Maharaja Linggabuana, lukisan itu masih disimpan rapat oleh Hayam Wuruk sendiri.

Ah, pernikahan agung. Itu semua berawal dari Patih Madhu, utusan dari Majapahit yang datang ke Kerajaan Sunda untuk memberitahukan lamaran Hayam Wuruk pada Pitaloka.

Maksud Hayam melamar adalah untuk menjadikan Pitaloka sebagai permaisurinya, dan sekaligus untuk menjalin tali persaudaraan dengan Kerajaan Sunda.

Hayam bahkan mengirimkan sebuah surat berisi perasaanya yang terdalam bagi Pitaloka. Dan sebagai balasannya, Pitaloka memberikan Hayam sebuah sampur tari merah kesayangannya lewat Patih Madhu.

Untuk pertama kalinya, Pitaloka benar-benar merasa jatuh cinta pada seorang pria.

Bukankah ini semua adalah mimpi?

Nahasnya, iya.

Semua angan Pitaloka seperti langsung tertebas habis setelah Mahapatih dari Majapahit bernama Gajah Mada itu, meminta Pitaloka sebagai tanda takluk superioritas Majapahit di Nusantara. Katanya dengan angkuh, jika Pitaloka ini akan dijadikan tak lebih hanya sekadar selir bagi Hayam Wuruk.

Tidakkah Hayam Wuruk lupa akan janjinya?

Tidakkah Hayam Wuruk benar-benar tulus saat menuliskan suratnya saat itu?

Apa maksud dari ungkapan jika Pitaloka adalah upeti? Pitaloka bukan barang!

Sudah remuk hati Pitaloka kini, seremuk harga dirinya yang diinjak oleh Mahapatih Gajah Mada. Namun, tak lebih remuk dari perasaan Pitaloka yang begitu murni pada Hayam Wuruk.

Tubuhnya yang dingin itu masih terdiam di dalam pesanggrahan Bubat. Kedua tangannya gemetaran. Maharaja Linggabuana murka, ia tak bisa memberikan putrinya sebagai sebuah upeti seperti ini. Harga dirinya juga serasa dikoyak.

Maharaja Linggabuana tak akan pernah tunduk dalam ambisi dan politik milik Gajah Mada.

Namun, sang Mahapatih Amangkubhumi yang mampu menaklukan Nusantara itu tentu sudah kenyang asam garam akan penaklukan. Menebas bala pasukan Kerajaan Sunda bagi Gajah Mada hanyalah sebatas seperti meniup koloni semut.

Sang Hyang Widi, berdosakah jika Pitaloka membenci Hayam Wuruk?

"Pitaloka,"

Bibirnya bergetar, masih dengan rangkaian bunga cempaka dalam genggamannya itu, Pitaloka berbalik pada ibunya. Bunga ini sudah terangkai sempurna. Pitaloka berjanji untuk memakainya saat pernikahan agung. Seharusnya memang begitu.

Namun, angan Pitaloka kembali dihantam. Air matanya sudah hampir habis. Pikirannya menjadi kacau, terserak oleh rasa sakit. Lutut Pitaloka bahkan tak sanggup untuk menopang kekecewaannya sendiri.

"Pergi sejauh mungkin, Pitaloka,"

Ia sangat tahu siapa yang akan memenangkan pertarungan ini. Ia sudah tak mampu menegakkan bahunya untuk bisa menerima itu. Namun, Pitaloka berusaha yakin jika keajaiban mungkin saja bisa terjadi. Maharaja Linggabuana harus hidup.

Kedua tangan ibu Pitaloka menangkup wajah ayu anaknya. Lihat mata gadis itu yang seteduh cahaya rembulan, lihat juga bibirnya yang semerah biji buah pinang tua. Pantaskah seorang Putri secantik itu dijadikan sebagai tanda takluk?

Pitaloka menggeleng tanda menolak. Tentu ia sangat tak bisa untuk meninggalkan ibunya di sini, Jika memang harus berlari, memang Pitaloka harus pergi ke mana? Majapahit bukan tempatnya, dan Hayam Wuruk juga bukan lagi cintanya.

"Tapi, bagaimana dengan Ibu dan Romo?" Mata Pitaloka memanas. Kilatan netra cemas ibunya itu membuat hatinya mencelos.

"Pertarungan ini akan berakhir, dan kami akan baik-baik saja. Jangan cemaskan Ibu dan Romomu. Sekarang pergilah ke hutan, pergilah sejauh mungkin dari Keraton Majapahit. Dan pergilah sejauh mungkin dari Prabu Hayam Wuruk.

"Tinggalah sementara di Majapahit, yang jauh dari Trowulan. Ibu berjanji ibu akan kembali membawamu pulang ke Sunda. Ibu percaya jika takdir pasti akan mempertemukanmu kembali pada Ibu dan Romo.

"Tidak ada yang boleh merampas kebahagiaan putri Ibu, tidak ada yang boleh merampas kebahagiaan sang permata Sunda. Majapahit memang bukan tempatmu, tapi bertahanlah sebentar saja, Pitaloka. Takdir pasti akan mempertemukanmu dengan Ibu dan Romo kembali,"

Pitaloka mengulum bibir. "B-benar Ibu dan Romo berjanji akan membawaku pulang?"

Bibir ibu Pitaloka terangkat, membentuk seutas senyum tulus. "Ibu berjanji."

Jika saja dia bisa memutar waktu, maka Pitaloka tak akan pernah menerima lamaran dari Prabu Hayam Wuruk. Kini semuanya menjadi lebur; impian, cinta, dan takdir. Tidakkah kisah PItaloka terlalu tragis?

Setelah keluar dari pesanggrahan, berbekal sebuah suluh dengan kobaran api yang melahap kegelapan, Pitaloka hanya terus berlari. Tak tertinggal telinganya yang mendengar suara sahutan pedang yang berdenting dan teriakan-teriakan amuk.

Sambil mengangkat jaritnya yang sudah sedikit koyak, dia menjadi tergopoh-gopoh dengan dadanya yang kembang kempis. Pikiran kalutnya membuat langkahnya serasa berat.

Gadis itu merangsek ke dalam hutan, menyasak rumput-rumput liar. Duri-duri pada tumbuhan itu bahkan sudah beberapa kali menggores kulitnya. Sudah kesekian kalinya tubuh Pitaloka terhuyung dan jatuh ke bebatuan. Luka dan sayatan kini sudah menghias tubuhnya.

Ketakutan demi ketakutan harus Pitaloka lewati. Menyebrangi kegelapan adalah hal yang paling membuat Pitaloka ingin mati.

Bruk!

Pitaloka menyerah. Ia kembali terjatuh, dan kini kaki kanannya kembali mendapat luka. Dilihatnya gemerlap suluh yang sudah hilang ditelan malam. Gadis itu menyeka air matanya dengan punggung tangan sebelum ia menyobek setengah jaritnya yang berlapis emas murni.

Hatinya benar-benar remuk redam.

Hayam Wuruk. Kini makna nama itu tidak lagi sama bagi Pitaloka.




❛ ━━・❪ Ꭺ᥉ꪑᥲɾᥲᥣꪮkᥲ ❫ ・━━ ❜

ASMARALOKA (On Hold)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें