28 | [೫]

1.2K 242 10
                                    


There is a house in New Orleans
They call the Rising Sun
And it's been the ruin of many a poor boy
And God I know I'm one

My mother was a tailor
She sewed my new bluejeans
My father was a gamblin' man
Down in New Orleans

Now the only thing a gambler needs
Is a suitcase and trunk
And the only time he's satisfied
Is when he's on a drunk

Oh mother tell your children
Not to do what I have done
Spend your lives in sin and misery
In the House of the Rising Sun

Well, I got one foot on the platform
The other foot on the train
I'm goin' back to New Orleans
To wear that ball and chain

Well, there is a house in New Orleans
They call the Rising Sun
And it's been the ruin of many a poor boy
And God I know I'm one


Lagu ratusan tahun lalu, kata seorang pria tua, sudah dimainkan sejak abad 16. Harsa senang ketika ia meminta Wisnu menyanyikannya. Suara berat Wisnu terdengar pas, entah kenapa bagi Harsa bagus saja jika si bungsu Prawiranegara yang membawakannya walaupun pria itu tak banyak tahu teknik menyanyi dan mengeluarkan vibra dengan baik. Sudah lama, ketika Harsa masih mengenal chord gitar dan piano. Itu ketika ia masih mengenakan seragam putih abu-abu yang sering berakhir berantakan, dengan kerah yang kusut tak berdasi.

Atau, terkadang Harsa sendiri yang menyanyikannya. Ketika malam terasa begitu gelap dan sunyi, maka samar-samar suara Harsa akan mengalun beriringan dengan dentingan piano. Tidak, lagu House of The Rising Sun sepertinya lebih cocok dengan gitar akustik. Dulu, Kakung, maksudnya Kakung nya Wisnu──senang mendengarkannya.

Tahun 2003, ketika Harsa gemar kabur untuk menginap di rumah Wisnu, pria itu selalu mengajak Harsa ke rumah Kakung. Suasana malam yang khas dengan sayup-sayup aroma cerutu dan suara band The Animals, ia ingin merasakannya lagi. Harsa bahkan rindu tatkala ia bisa menyanyikan lagu Bon Jovi tanpa malu menarik nada tinggi. Atau, bernyanyi bersama tukang kebun rumah Kakung dengan gitar klasiknya yang sudah rusak.

Sebegitu hebatnya Kanigara merusak figur Harsa, hingga ia hampir lupa bila pernah bercita-cita menjadi seorang musisi.

Jari telunjuknya mencoba kembali menekan tuts. Grand piano ini tak akan pernah disentuh bila Harsa tak kemari. Perlahan ia mengingat chord dari salah satu symphony milik Beethoven. Tersenyum tipis, ternyata ia masih mengingatnya dengan baik. Jarinya kembali lihai, sama seperti 20 tahun lalu ketika ia mahir memainkan nada-nada Waltz. Kian tersungging lebar tatkala memori-memori lamanya yang indah itu mulai menari bersama alunan klasik.

"Kamu mau bikin pertunjukan di hari pernikahan, hm?"

Piano berhenti seketika. Harsa menarik jemarinya dari sana. "Siapa bilang saya akan menikah?"

Edgar berjalan menuju ke dalam, mendapati Harsa yang duduk di depan grand piano. Pria itu selalu berada di sana sepulang sekolah, tentunya sebelum Edgar akan memukuli tangan Harsa sampai merah karena ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk memainkan piano daripada belajar.

Mata Edgar terpejam seraya menarik napas panjang. "Jangan mulai lagi. Sudah sejauh ini dan kamu masih mau tarik ulur sama Papa, Harsa?"

Seharusnya Edgar tak boleh pura-pura lupa bila kedatangan Harsa di rumahnya selalu hanya akan memunculkan sebuah perkara baru. Edgar semestinya sudah mempersiapkan diri dengan matang untuk menghadapi anak sulungnya yang bebal. Sebenarnya Edgar memanggil Harsa untuk membicarakan perihal rapat RUPS perusahaan dalam waktu dekat. Namun, lihat, anaknya itu lagi-lagi melakukan hal gila.

ASMARALOKA (On Hold)Where stories live. Discover now