24 | [೫]

1.2K 268 9
                                    




Dua puluh menit terbuang untuk tepekur di hadapan batu nisan. Kadita tak menggerakkan kakinya bahkan meski tertekuk sudah lama. Matanya masih terarah lurus, tak mengindahkan bila angin saja ingin membisikkan bahwa matahari akan lingsir sebentar lagi.

Dia selalu berada di makam Santanu ketika gundah. Mengunjunginya saat rindu, atau berkeluh kesah karena sedang berumusuhan dengan Wira. Tak ada tempat lain lagi baginya untuk pulang selain apartemen di tengah hiruk-pikuk Jakarta, dan makam ayahnya. Kadita hanya memiliki dua tempat itu, tempat paling aman, menurutnya.

"Benar tebakan saya, kamu di sini."

Kadita tahu suara siapa yang kini dia dengar. Wanita itu benar-benar selalu datang kapan saja seperti malaikat maut. Tak memalingkan wajahnya sedikitpun, dia tetap memainkan kelopak bunga yang sepersekian menit ditaburkan sebelumnya. Tangannya sedikit gemetar, namun ditekan.

"Tumben ke makam Papa. Udah sadar dosanya, Miss?" Kadita nyeletuk, selalu malas untuk menyebutkan panggilan 'Ibu' pada wanita setengah abad yang selalu menata rambut pendeknya dengan hairspray.

Tanpa menjawab, Inggit bertanya sekali lagi. "Sudah berapa lama kamu ada di sini? Kamu tahu, 'kan, saya nggak suka nunggu? Kamu pikir Jakarta itu pedesaan dengan jalan lengang? Udah tahu saya orang sibuk."

Kadita mengerling sejenak, setelah itu tersenyum tanpa rasa bersalah. Oh iya, lupa. Seharusnya Kadita sudah duduk diam di lounge, jam empat tadi. Jahatkah Kadita bila tidak meminta maaf? Sepertinya tidak.

"Too much information." Kadita menimpali. Inggit memang begitu, banyak omong dan gemar membicarakan hal yang tak penting. "Kalau nggak ada keperluan, Miss Inggit bisa pergi. Keberadaan Anda suar bagi setan-setan di sini."

"The dinner, Brielline."

Kadita benci ketika Inggit memanggilnya dengan sebutan yang dia anggap paling indah dalam barisan namanya. Apa Inggit pikir ia bisa menggantikan posisi Santanu ketika bibirnya mengucap sebutan yang selalu Santanu berikan pada Kadita? Tak ada yang boleh menyebutkan nama itu selain Santanu sendiri.

"You wish." Kepala Kadita mengangguk. "Nggak perlu repot-repot pergi ke sini kalau cuma mau ngomong itu aja. Tanpa Anda ingatkan pun, saya tahu. Gaun Anda juga sudah saya terima kemarin malam. Thanks, money well spent. Dan, tolong berhenti panggil saya Brielline, Anda nggak layak."

Kadita tahu jika Inggit tengah ingin meremukan mulut Kadita sekarang juga. Apalagi sikapnya yang terlampau angkuh terlihat mendidihkan emosi Inggit. Wanita perfeksionis gila kerja itu pasti sedang merasa tak dihargai. Ia benar-benar tak senang ketika orang tak mendengarkannya ketika berbicara atau tak membalas tatapannya saat berbincang. Itu memang bagian dari kesopan santunan dalam hal berinteraksi pada orang, kali ini Inggit benar. Namun, melalukan dosa sesekali tak masalah, bukan?

Terdengar suara tas yang diangkat dan dehaman menahan amuk. Wanita itu sangat tempramental sebenarnya. Entah, Kadita tak ingat sudah berapa kali Inggit mencoba membunuh Kadita dengan menenggelamkan kepalanya dalam air. Dia juga mulai lupa kapan terakhir kali Inggit hampir meregang nyawa anaknya sendiri dengan memukulinya bertubi-tubi—tubuh membiru kemudian diguyur dengan air dingin.

Dan, sekarang Inggit terlihat benar-benar menginginkan kematian Kadita secara perlahan dengan memberikannya pada Kanigara.

Tenang saja, setidaknya Kadita sudah sembuh. Dengan menghabiskan hampir seluruh masa SMA-nya untuk pergi ke psikiater, mempertahankan jiwanya yang sudah hampir terkoyak oleh trauma.

"Jangan malu-maluin nama Yahswant. Setelah ini pergi buat premarital chek-up, rahimmu harus baik buat Brataharsa."

Kadita tertawa, meski dia sendiri penuh dengan ketakutan. "Apa bagi Anda, perempuan adalah mesin pencetak anak? Lucu, ya." Kali ini tubuhnya berbalik, membalas Inggit dengan senyum lugu. Hanya ingin merepresentasikan bagaimana Inggit menilai Kadita selama ini, yang sebagai gadis bodoh dan gila. "Padahal Anda sendiri juga seorang perempuan."

ASMARALOKA (On Hold)Where stories live. Discover now