23 | [೫]

1.2K 246 5
                                    

"Aku tidak yakin jika keraton akan setenang biasanya,"

Hayam hanya tersenyum, ia menyunggingkan sebelah bibirnya itu seolah ia sedang tidak melakukan sebuah dosa. Lagipula jadwal Hayam sedang tidak padat, tentu tak menjadi masalah jika ia pergi ke luar. Namun, tetap saja, pamitan adalah sebuah aturan dasar. 

Hayam menggeleng kepalanya kemudian. "Menurutmu begitu?"

Pitaloka menghela napas. "Kangmas harus mempertanggung jawabkan perbuatan Kangmas,"

"Sekarang dimatamu, aku benar-benar raja yang buruk, bukan?"

"Ya," mata Pitaloka memicing setelah menoleh ke belakang pada Hayam. "Sangat buruk."

Hayam terkekeh geli. Sudah kesekian kalinya Pitaloka mengomel perihal tindakan tidak bertanggung jawab Hayam. Gadis itu bahkan kelihatan lebih disiplin dari yang ia kira. Dibalik kelembutan nada bicaranya yang sanggup menghipnotis kewarasan Hayam itu, nyatanya terselip ketegasan-nya sebagai sosok putri raja. 

"Berarti, gadis yang dibawa Adhyaksa ke Trowulan adalah kau, Pitaloka?" 

Kepala gadis itu mengangguk, "Iya," bibirnya mengulum kemudian, "Aku pikir, ketika aku pergi ke Trowulan saat itu, aku bisa mendapatkan jawaban atas bagaimana keadaan romo dan ibuku. Tapi, nyatanya aku tidak mendapatkan apa-apa," 

Hayam memalingkan mukanya sejemang. Mungkin, sampai akhir hidupnya pun, Hayam akan tetap diihantui oleh rasa bersalah. Jika saja ia bisa cepat mengambil keputusan, jika saja ia bisa tidak terlambat untuk sampai ke Bubat, dan jika saja ia mendengarkan kata hatinya untuk bertemu dengan Prameswari kala itu, mungkin semuanya tidak akan berakhir menyedihkan seperti ini. 

"Kangmas ini sebenarnya akan mengajakku ke mana?" Mengerti jika atmosfer Hayam mendadak temaram, Pitaloka kembali menaikkan nadanya seolah ia tengah protes. 

Sudah sejak siang tadi kuda Hayam nampak hanya terus berjalan, dan kini semburat-semburat senja itu sudah samar-samar terbias di mata Pitaloka. Entah ke mana pria itu akan membawa Pitaloka, yang jelas jalur yang dilaluinya kini adalah jalan menuju keraton. 

Pitaloka masih terdiam untuk menerka. Apakah Hayam akan membawanya masuk ke dalam kandang harimau, atau Pitaloka yang hanya gampang terbodohi dengan senyum menawan raja negara adidaya itu. 

Hayam mengeratkan selendang yang menutupi kepalanya, "Ke keraton," jawabanya. "Untuk mengurungmu agar kau tidak bisa pulang," 

Sontak saja kepala Pitaloka memutar ke belakang dengan cepat. Melihat tak ada satu pun tarikan garis pada bibir Hayam, membuat gadis itu mengerutkan kedua alisnya tanda akan terjadi pemberontakan. "Kangmas bersungguh-sungguh mengakatan itu?" 

Hayam tertawa, ia bahkan sampai menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Tentu tidak," kini tangannya itu ingin saja menyentil dahi Pitaloka karena gemas. "Kau ini ada-ada saja, cah ayu," 

Pitaloka menghela napas jemu. Ini sudah kesekian kalinya pula Hayam selalu menggodanya. Ternyata Sri Rajasanegara itu lebih tengil dari yang ia kira. Dibalik tatapan mematikan serta kelugasannya sebagai seorang raja, Hayam nyatanya hanyalah pria biasa yang cukup banyak bicara dan agak manja. 

Pitaloka mengedipkan matanya beberapa kali sebab Hayam hanya melewati dinding luar keraton yang menjulang, jelas tak seperti ucapannya barusan yang akan membawa Pitaloka masuk keraton dan mengurung gadis itu. Sepanjang menyusuri tembok, kepala Pitaloka mengikuti barisan bata merah yang memanjang hingga mereka tiba di ujung, seraya menerka──kira-kira seperti apa kemegahan istana milik pria yang kini sedang duduk bersisian dengannya. 

ASMARALOKA (On Hold)Where stories live. Discover now