21 | [೫]

1.3K 273 9
                                    




Entah takdir atau nasib apes, yang jelas kini Kadita mengutuk niat Harsa yang membawa serta dirinya untuk pulang ke Jakarta sebelum akhir Desember. Waktunya untuk bertemu dengan Laras bahkan sangat singkat, dia belum sempat pergi ke beberapa pantai dengan Bumi atau ke keraton Ngayogyakarta bersama Wira.

Namun, ada bagusnya juga jika Kadita kedapatan pulang bersama Harsa seperti ini. Bila sewaktu-waktu gerak-geriknya dicurigai, maka dia bisa menjadikan Harsa yang pintar bernegosiasi itu untuk membentengi kebodohan dirinya yang hakiki. Namun, tetap saja, mengemudi dengan Harsa adalah ide paling buruk.

"Mau ... minum?"

Ujar saja bodoh karena jelas-jelas ada botol air mineral di samping tempat duduk Harsa. Ke mana mata Kadita dalam setengah jam terakhir? Sudah tahu jika Harsa adalah spesies orang yang susah diajak bicara, dan Kadita malah dengan entengnya membangun topik dangkal hingga pria itu hanya menoleh sekejap, dan menggeleng kepalanya beberapa kali tanpa menuturkan jawaban. Mengulum bibir kikuk, Kadita mencoba mencairkan suasana dengan bising segel tutup botol air mineral yang terbuka.

Sahutan klakson dan mesin kendaraan yang berpacu saling bertubrukan di luar peraduan,  bahkan tak bisa membantu Kadita untuk merasa tak canggung di dekat seorang pria dewasa. Namun, kepalang sial, tutup botol itu tak bergerak, terputar sedikit dan macet; tangan Kadita terus menekan seiringan dengan tekanan kosong. Tangannya menjadi merah, hingga dia memutuskan untuk berhenti sejenak dan mengibas tangannya yang sakit.

Sepersekian detik setelah berhenti di lampu merah, Harsa memberikan botol air mineralnya yang baru saja dibuka, dan menukar dengan botol  bertutup cacat milik Kadita. Tanpa berbicara. Pria itu meletakkan botol Kadita di samping kursinya; membiarkannya begitu saja tanpa berniat menyentuhnya lagi.

"Ini 'kan punya Pak Harsa."

"Minum aja."

Sempat menariknya sedikit, kemudian mengulurkannya kembali ke arah Harsa dengan banyak keraguan. "Ya udah buat barengan aja nggak papa, Pak." Otaknya hanya terlanjur mampat.

"Kamu nggak takut kalau misal saya punya hepatitis?"

"Memangnya Pak Harsa punya hepatitis?"

"Enggak."

"Ya udah 'kan nggak papa."

Harsa menghela. Menjauhkan perlahan botol air mineral setengah dingin itu dengan punggung tangannya, "Nggak boleh. Mulut saya haram buat kamu."

Beberapa kali mengedipkan mata lugu sebelum akhirnya Kadita meneguk air mineral itu hingga tersisa setengah. "Kadang Wira barengan gitu sama saya, kok. Nggak papa. Kalau makan es krim juga kadang satu sendok barengan. Kadang minum gitu segelas barengan." 

"Dari kecil kalian apa-apa memang barengan." timpal Harsa tanpa mengedarkan pandangannya pada Kadita, memusatkan kedua matanya yang terbuka untuk menjelajah jalanan cukup lengang.

"Iya sih. Matinya barengan juga kali."

Ada sebuah hentakan suara, terdengar seperti gelak tawa yang begitu saja tertahan seakan tengah ditekan untuk tidak keluar. Melirik ke samping, Kadita melihat Harsa tengah menutup bibirnya sendiri dengan jari telunjuk yang sedikit tertekuk. Kening mengerut dengan alis saling bertaut, Kadita bertanya-tanya dengan dehaman Harsa setelah itu. Pria itu keselek angin?

Entah. Karena rasanya tak mungkin bila Harsa menertawakan Kadita. Sejak awal dia bahkan sadar jika Harsa tak akan pernah mau melihatnya sebagai seorang wanita. Benar, kabar dari orang-orang yang seperti angin, mengatakan jika Harsa orang yang ... tak tersentuh? Memang. Sangat susah menembus benteng Harsa. Bahkan tak mudah untuk hanya sekadar mengenal pria itu.


ASMARALOKA (On Hold)Where stories live. Discover now