19 | [೫]

1.2K 269 13
                                    





"Aturan, tadi harusnya ke Malioboro dulu pagi-pagi, terus ke Prambanan, baru ke Parangtritis kalau mau lihat sunset. Atau nggak, dibalik aja. Prambanan, Parangtritis, Malioboro."

Jujur saja Kadita sangat memrotes bagaimana Lesmana yang begitu kurang berpengalaman dalam mengatur rencana perjalanan. Sudah baik menjadi seorang Direktur, kenapa harus pula merangkap menjadi tour leader sekaligus local tour guide abal-abal. Kepalanya menjadi pusing sebab harus berjalan bolak-balik dari Prambanan, kemudian kembali lagi ke Malioboro, lalu baru melompat jauh ke ujung Parangtritis.

Wira menyebik, ngomong-ngomong ia dan Kadita sudah baikan. Entah, hanya berjalan begitu saja seolah tak ada yang pernah terjadi di antara keduanya. "Tour leader ngawur." Bibirnya terbuka menimpali.

"Lho, tapi kan sama aja waktunya." Sang tersangka berkilah.

"Sama gimana. Rute nya jadi bolak-balik. Nggak efektif. Dari Sleman ke Prambanan, terus balik lagi ke Malioboro. Harusnya ke Malioboro dulu baru ke Prambanan." Kadita berusaha membenarkan.

Lesmana menghela, mengakui kesalahan namun masih ingin beralasan. "Lha gimana, mau diulangin?"

"Ora jelas." Wira kesal. "Yang penting sampe rumah nggak kemalaman aja. Kita bawa anaknya Nyai soalnya, Mas."

Nyai──maksudnya, Laras. Bertitah untuk tidak pulang di atas jam sembilan malam sebab keesokan harinya Bumi masih ada jadwal taekwondo. Pun Lesmana juga tak berniat pulang terlalu larut karena jalanan rumah Wisnu terlampau sunyi dan menakutkan. Sudah persis seperti panorama film horor yang sering ia tonton. Jangan sampai di tengah lelahnya ia menyetir mobil, malah melintas mbak-mbak tengil dengan tawa melengking pemacu jantung. Lagipula orang waras mana yang memilih mendirikan kediaman di dalam hutan alih-alih di pusat kota dengan akses ke mana saja.

"Oke, ini kita berpencar. Biar nggak kelamaan di Malioboro. Titik kumpul di depan mall jam tiga," nyatanya, Lesmana lah yang kembali mengatur rombongan. "Aku sama Wira, Kadita sama Harsa."

Merendahkan tubuhnya pada Bumi yang baru saja melepas topi, Lesmana bertanya, "Bumi mau ikut sama Mas Wira atau Om Harsa? Mas Wira mau masuk ke mall, nyariin pesenannya Ibu Laras dulu. Kalau Om Harsa keliling Pasar Beringharjo, nyari oleh-oleh, soalnya besok Rabu udah pulang ke Jakarta."

Tak perlu banyak berpikir, Bumi langsung menyahut. "Kak Kadita perginya sama Om Harsa, 'kan? Kalau gitu, Bumbum sama Om Harsa aja."

"Beneran, Bum? Di luar panas lho." Lesmana menyakinkan.

Mengangguk mantap, Bumi kembali memakai topinya. "Iya, Pakdhe Nana. Soalnya kalau sama Kak Kadita, Bumbum kayak lagi jalan sama Ibu."

Sebenarnya, sebutan Pakdhe itu terlalu tua. Umur Lesmana masih belum begitu renta, tidak se-paruh baya yang dipusingkan. Panggilan itu seolah-olah membuat Lesmana merasa bila ia adalah bapak-bapak kumisan tiga anak. Namun, bagaimana lagi, memang begitu tata krama yang berlaku. Pakdhe atau Bapak Gedhe──bapak besar──adalah sebutan untuk kakak dari ayah atau ibu.

"Oke, Bumbum. Pakdhe Nana tinggal, ya." Lesmana merapikan rambutnya yang berponi, mengencangkan sabuk pada celana jeans pendeknya dan menekuk lengan kemeja linen sebatas siku. Hitung-hitung, mejeng di mall, siapa tahu ada bule Jogja yang kepincut.

Kadita hanya tersenyum sumbang, tak memiliki warna pada gurat mukanya yang sedikit kepanasan. Maksud Lesmana adalah agar memperpendek waktu, tak perlu berlama-lama menunggu satu sama lain untuk menjelajah setiap sudut lanskap Malioboro. Namun, bagi Kadita, hal itu akan menjadi seperti mimpi buruknya di siang bolong.

ASMARALOKA (On Hold)Where stories live. Discover now