13. Jawaban?

4 0 0
                                    

Bintang menepuk-nepuk punggung Awan guna meredakan tangis sang adik. Usahanya belum juga membuahkan hasil, tetapi Bintang tidak ingin menyerah. Ia tidak akan membiarkan adiknya menangis terus-menerus.

"Sudah, Awan. Mungkin teman-temanmu cuma gak mau ganggu kamu, makanya mereka gak ada yang bermain dengan Awan," tukas Bintang kembali memberikan alasan.

Sejenak, Awan menghentikan tangisnya. "Tapi gak cuma teman-teman Awan yang menghindari Awan, tapi bu guru juga. Bu guru gak mendengar saat Awan menjawab pertanyaan," ungkap Awan sembari mengusap ingusnya menggunakan ujung lengan baju.

"Bukannya gak mendengar, tapi bu guru ingin teman-teman Awan yang menjawab pertanyaannya. Awan sudah sering, kan, menjawab pertanyaan bu guru? Bu guru ingin memberikan kesempatan pada teman-teman lain," ucap Bintang lagi. Sejujurnya ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia tidak bisa membiarkan Awan bersedih. Ia sudah berjanji pada orang tua, Awan, bahkan diri sendiri jika ia akan menjaga Awan dengan segenap hati dan tenaganya.

"Benar begitu, Kak?" Tampaknya, Awan mulai mendengar ucapan Bintang.

"Tentu saja. Kapan Kakak bicara bohong padamu? Kamu gak usah sedih, karena bu guru dan teman-teman sayang dengan Awan. Kamu sebaiknya kerjakan PR saja."

Awan mengangguk mengerti sebelum beranjak meninggalkan Bintang ke kamarnya. Dikarenakan Awan telah mengetahui kebenaran bahwa orang tua mereka telah meninggal, maka Awan dan Bintang memiliki kamar sendiri-sendiri.

Bintang mengembuskan napas panjang. Tidak cukup dengan Pejuang yang bertingkah tidak biasa terhadap Awan, sekarang malah adiknya itu yang membuatnya pusing. Bintang tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dari pengakuan Awan, guru dan teman-teman tidak ada yang mau berbicara dengannya. Bahkan, cenderung menghindari Awan. Tentunya hal tersebut membuat Awan sedih, karena sejatinya Awan merupakan anak yang pintar dan mudah bergaul dengan orang lain.

"Kenapa tiba-tiba guru dan teman-teman Awan menghindarinya?" tanya Bintang pada diri sendiri. "Besok, aku harus akan mampir ke sekolah dan bicara dengan gurunya Awan. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi."

Bintang beranjak dari tempatnya sebelum memberi makan Pejuang. Namun, ia tidak menemukan kucing belang itu. Khawatir, Bintang memutuskan mencari Pejuang.

"Aku mencarimu ke mana-mana, Pejuang," ucap Bintang seraya mendekat pada kucing itu. Ia senang saat melihat Pejuang berada di dekat Awan. Pejuang terlihat menemani Awan mengerjakan PR.

Namun, senyum yang sempat muncul kini hilang begitu saja sesaat setelah Pejuang menaikkan bulu-bulunya di depan Awan. Tidak hanya sampai di sana saja, tetapi Pejuang pun menunjukkan gigi runcingnya sebelum mengigit Awan.

"Pejuang, apa yang kamu lakukan?" Bintang bertanya dengan nada sedikit tinggi pada Pejuang sembari menghampiri Awan. "Kamu gak apa-apa, Awan?"

Awan berdesis saat luka hasil gigitan Pejuang memunculkan darah segar. "Sakit, Kak," keluh Awan.

Bintang dengan sigap mengobati luka Awan. Ia tidak lagi mempedulikan Pejuang dan lebih memilih memperhatikan Awan. Akan tetapi, Pejuang mengikuti ke mana pun ia pergi dengan mata bulatnya.

"Hari ini kamu gak dapat jatah makan, Pejuang. Jangan memohon belas kasihku," kata Bintang melirik sekilas Pejuang yang menatap dengan mata berkilaunya.

Bintang serius dengan ucapannya. Setelah mengobati luka Awan, ia tidak mempedulikan Pejuang sama sekali dan tidak memberinya makan untuk hari ini. Pejuang tertidur lemas di tempatnya tanpa berniat mencari makan di tempat lain.

"Kamu harus dihukum, Pejuang. Gak seharusnya kamu melukai Awan," kata Bintang melihat Pejuang tertidur dalam diamnya.

Tiba-tiba, ruangan itu menjadi gelap gulita. Awan yang berada di kamar menjerit ketakutan. Dengan sigap Bintang menghampiri adiknya ke kamar menggunakan pencahayaan lampu senter. Bintang membawa Awan ke ruang tamu guna membantunya menyelesaikan setengah pekerjaan rumah yang belum selesai.

Berbekal lilin, Awan mengerjakan pr-nya dengan serius. Meskipun sulit, tetapi Awan akan menyelesaikan pekerjaan rumahnya sebaik mungkin.

"Kamu takut, Pejuang?" tanya Bintang pada Pejuang yang duduk di sampingnya.

Pejuang bergeming di tempatnya sambil memperhatikan sesuatu di tembok yang menampilkan bayangan. Tatapan Pejuang begitu serius sampai membuat Bintang penasaran. Ia ingin tahu apa yang sedang dilihat Pejuang. Apakah makanannya?

Netra Bintang seketika membola setelah menyadari apa yang dilihat Pejuang sejak tadi. Jantungnya serasa berhenti berhenti berdetak untuk sesaat. Jika dapat digambarkan, maka ekspresi wajah Bintang menggambarkan ketakutan, terkejut dan bingung.

"Kakak kenapa?"

Suara Awan seketika mengalihkan perhatian Bintang.

"K-Kakak gak papa kok," jawab Bintang' sedikit gugup. Tanpa disadari, keringat mulai membasahi punggungnya. "Kamu sudah selesai mengerjakan PR-nya?"

Awan mengangguk sembari menutup buku tulisnya. "Udah, Kak," jawabnya singkat.

"Sekarang saatnya tidur. Gak ada yang bisa kita dilakukan jika gelap begini," ucap Bintang lagi.

"Malam ini Awan tidur bareng Kakak, ya."

Ucapan Awan membuat Bintang tersentak. "Kenapa kamu gak tidur sendiri aja, Awan?"

"Awan takut, Kak. Boleh, ya, Awan tidur bareng Kakak. Malam ini aja. Ya, ya, ya," ucap Awan penuh harap.

Bintang mengulas senyum sebelum bercap, "Iya, kamu boleh tidur bareng Kakak."

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Where stories live. Discover now