2. Pukulan Terberat

22 2 0
                                    

Matahari mulai meninggi. Memberikan kehangatan lewat sinarnya pada setiap makhluk yang ada di bumi, tanpa terkecuali. Termasuk Bintang yang hari ini sudah disibukkan dengan berbagai hal. Kesibukan yang tidak pernah dibayangkan akan dilakukan secepat ini.

Bintang hanya bisa terpaku di tempatnya saat tanah mulai menutupi liang lahat kedua orang tuanya. Rasanya, tubuhnya membeku saat itu juga. Teriknya sinar matahari tidak lagi sampai padanya. Hanya rasa dingin dan kehampaan yang memenuhi relung jiwanya.

Satu persatu pelayat memberikan doa dan kata-kata penyemangat sebelum berpamitan pada Bintang. Kehilangan cahaya yang selama ini menuntunnya di kegelapan malam merupakan pukulan terberat yang pernah dirasakan oleh Bintang. Perihal kehilangan, siapa pun akan merasakannya, tetapi Bintang tidak pernah menyangka jika kehilangan mereka yang disayangi begitu menyakitkan. Ia sama sekali belum siap merasakan kehilangan.

"Aku tahu ini berat Bintang, tetapi kamu jangan patah semangat. Awan membutuhkan sosokmu sebagai pengganti orang tua kalian," ucap Cahaya guna mengembalikan semangat Bintang.

Bintang bergeming di tempatnya. Ucapan Cahaya dapat didengarnya dengan jelas, tetapi ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa.

"Kamu baik-baik saja jika kutinggal sendiri, Bintang?" Cahaya kembali bertanya. Sejujurnya, ia sangat khawatir dengan kesehatan mental pemuda itu.

Bintang mengangguk pelan. Dengan berat hati, Cahaya meninggalkannya seorang diri di pemakaman. Meskipun khawatir, ia yakin Bintang mampu bertahan dan berhasil melewati cobaan ini.

Netra itu diarahkan pada makam yang masih basah. Bunga yang berterbangan di atas tanah masih segar dengan harum semerbaknya. Namun, harum bunga itu tidak kalah harum dari aroma masakan sang ibu dan aroma khas pekerja keras ayahnya.

Selama beberapa saat, Bintang terpaku di tempatnya tanpa mengatakan apa-apa. Hatinya sangat berantakan. Kata-kata bahkan tidak mampu menggambarkannya. Meskipun begitu, ia harus bertahan. Masih ada Awan yang membutuhkan hadirnya.

"Awan, ayah dan ibu sudah pergi meninggalkan kita. Melihat keadaanmu yang seperti ini, kakak gak yakin kamu bisa bertahan." Bintang menatap sendu Awan yang tidak lain adalah adiknya yang terbaring di ranjang rumah sakit lengkap dengan alat-alat medis yang memenuhi tubuhnya.

Melihat keadaan sang adik, membuat hati Bintang teriris. Tubuh mungil Awan dipenuhi luka bakar dan sejak kemarin, ia belum juga membuka matanya. Saat ini, yang bisa dilakukan Bintang ialah berdoa semampu yang ia bisa.

Hingga malam menjelang, Awan belum juga membuka matanya. Bintang selalu menemani sang adik, tetapi ia lupa dengan dirinya sendiri. Ia belum memasukkan makanan apa pun ke dalam perutnya sejak kemarin.

"Aku membawakan makanan untukmu. Kamu pasti belum makan, kan?" Cahaya menyodorkan kantung kresek di depan Bintang.

"Aku gak lapar, Cahaya," tolak Bintang tanpa menatap lawan bicaranya.

"Ayolah, Bintang. Kamu jangan seperti ini. Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Awan? Dia membutuhkanmu, loh. Makan, ya."

Ucapan Cahaya berhasil meluluhkan hati Bintang. Ia makan dengan tidak semangat. Lidahnya bahkan tidak mampu merasakan kelezatan makanan tersebut.

Cahaya menemani Bintang sampai selesai makan sebelum ia pamit meninggalkan pemuda itu. Tidak lama setelahnya, Bintang memutuskan pergi meninggalkan rumah sakit. Bau obat-obatan seketika membuatnya mual. Sepertinya ia sudah berada di rumah sakit terlalu lama dan membutuhkan udara baru nan segar yang memenuhi paru-parunya.

Kedua kaki itu dibawa melangkah malas oleh Bintang. Malam ini, langit begitu cerah. Dihiasi cahaya ribuan bintang dan bulan yang memperindah langit malam. Sayangnya, keindahan langit malam itu tidak berarti apa-apa bagi Bintang. Jika bisa meminta, ia tidak ingin malam datang, karena hanya akan mengingatkannya dengan kejadian terburuk yang sangat ingin dilupakannya.

Langkah Bintang begitu lambat, tetapi ia telah pergi jauh meninggalkan rumah sakit. Di depan sebuah gang yang gelap dan sempit, Bintang dapat mendengar secara jelas suara rintihan dan tawa anak-anak. Sejenak, ia terdiam di tempat sebelum akhirnya pergi tanpa memiliki keinginan mencari tahu apa yang telah terjadi di gang itu.

"Aku hidup, tetapi terasa mati," gumam Bintang dengan sorot mata yang diarahkan pada sungai di bawah jembatan.

Angin dingin mulai melingkupi tubuh Bintang yang dibalut kaus oblong tipis, tetapi pria berambut sekelam malam itu tidak beranjak juga dari tempatnya. Dinginnya angin malam tidak lagi berarti untuknya. Bahkan, hatinya jauh lebih dingin dibandingkan angin itu.

"Aku telah kehilangan segalanya dan kemungkinan juga aku akan kehilangan Awan." Bintang kembali bermonolog. Dapat diingatannya dengan jelas ucapan dokter mengenai keadaan sang adik.

Awan menghirup banyak asap dan luka bakarnya cukup parah. Kemungkinan Awan bertahan akan sangat sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuknya bertahan. Sayangnya, kepercayaan Bintang hampir sepenuhnya sirna. Ia tetap berdoa, meminta kesembuhan sang adik, tetapi dengan hati yang sudah sangat berantakan.

Harapan itu masih tetap ada, tetapi Bintang telah kehilangan segalanya. Rumah yang menjadi tempat bernaung, dengan segala kenangan yang ada di dalamnya telah tiada. Dilalap habis si jago merah. Belum lagi dengan kedua orangnya yang juga ikut kehilangan nyawa dalam musibah tersebut. Akan datang suatu hari di mana Bintang akan kehilangan orang tuanya, begitupun sebaliknya. Namun, tidak disangka jika ia harus merasakan kehilangan secepat ini.

Tanpa bisa dibendung, butiran bening itu jatuh begitu saja melewati pipi. Bintang tidak hanya kehilangan, tetapi juga merasa bersalah atas kepergian kedua orang tuanya. Saat musibah kebakaran itu terjadi, ia sedang tidak berada di tempat.

Jika saja waktu dapat diputar kembali, maka Bintang memilih pulang lebih awal. Atau lebih baik lagi jika ia tidak memilih pergi dan berkumpul bersama teman-temannya. Ia akan tetap tinggal di rumah malam itu. Sayangnya, waktu tidak dapat diputar kembali. Semua telah terjadi, meninggalkan penyesalan dan rasa bersalah teramat dalam pada Bintang.

"Aku gak yakin bisa melewati ini semua. Bahkan, semangat untuk hidup aja aku udah gak punya. Lebih baik seperti ini. Cara paling tepat untukku menembus kesalahan pada ayah dan ibu adalah ikut pergi bersama mereka. Kuharap, Awan mengerti dan lebih memilih untuk menyerah dengan hidupnya." Bintang bermonolog sembari menggerakkan kaki menaiki pinggir pembatas jembatan. Ia tidak sanggup menanggung semua beban di pundak seorang diri. Baginya, tindakan ini merupakan langkah yang tepat.

Perhatian Bintang seketika teralihkan pada suara rintihan kecil dan menyedihkan. Terlihat seekor kucing penuh luka berjalan pincang ke arahnya. Pelipis mata si kucing terluka dan Bintang yakin penglihatan kucing belang itu tidak sebaik biasanya. Lantas, mengapa kucing itu masih bersikeras mendekat ke arah seseorang yang hendak mengakhiri hidupnya?

Kucing itu begitu keras kepala. Berulang kali Bintang mengusirnya menjauh, tetapi kucing itu malah semakin menggerakkan kaki ke arahnya. "Keras kepala kamu, Cing," komentar Bintang.

Bersambung...

Malam Tanpa Bintang [TERBIT]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora